REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mengejar utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya. Sekalipun itu dengan cara pemberian aset yang dimiliki perusahaan tersebut.
Piter menuturkan, pelunasan utang Lapindo merupakan sebuah urgensi yang perlu dituntaskan pemerintah. Perusahaan sudah merugikan banyak masyarakat, sehingga ketegasan pemerintah kini menjadi hal yang ditunggu banyak pihak.
"Utang Lapindo harus diselesaikan dalam bentuk apapun, termasuk dengan cara mengambil alih asetnya Lapindo," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/12).
Piter mengatakan, pihaknya tidak memiliki informasi lengkap untuk menilai ketegasan pemerintah dalam mengatasi permasalahan utang Lapindo. Tapi, di mata masyarakat, sikap pemerintah untuk menyelesaikan utang ini masih terlalu longgar.
Apabila tidak dirampungkan segera, Piter menyebutkan, pemerintah akan memiliki citra buruk di mata masyarakat. "Jangan sampai terkesan pemerintah tidak berdaya menghadapi swasta," tuturnya.
Piter menilai, tidak ada ‘efek samping’ yang akan timbul dari penyelesaian permasalahan utang dengan penyerahan aset. Justru, dampak negatif akan muncul apabila pemerintah terus membiarkan utang swasta tidak dilunasi. Khususnya ketika isu ini menyentuh berbagai lapisan masyarakat.
Tapi, Piter menekankan, pemerintah tetap harus memperhatikan tata kelola dari penyelesaian utang Lapindo. "Tentunya harus tetap transparan berapa nilai utang dan berapa nilai aset yang diambil alih," katanya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019, total utang Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya hingga 31 Desember 2019 kepada pemerintah mencapai Rp 1,91 triliun. Rinciannya, pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar.
Kemenkeu sebagai bendahara negara membuka berbagai opsi untuk skema pembayaran utang Lapindo. Tapi, pemerintah tetap memilih pembayaran tunai sebagai opsi utama.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata menuturkan, pemerintah memberikan beberapa opsi dari pembayaran secara tunai hingga penyerahan aset yang dimiliki perusahaan. "Mereka mau menyerahkan aset, oke kita jajaki itu. Kita akan lihat aset mana, aset wilayah terdampak yang ditawarkan, kita akan lihat," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (4/12).
Isa menyebutkan, Kemenkeu beserta instansi terkait akan mencoba untuk melihat nilai aset-aset yang digunakan Lapindo untuk membayar utang sejumlah Rp 1,91 triliun. Menurutnya, keputusan untuk memberikan opsi pembayaran utang melalui aset mencerminkan adanya kemajuan dari sisi internal pemerintah, termasuk bersama Kejaksaan Agung dan BPK.
Isa menuturkan, esensi pemberian izin membayar utang melalui aset adalah pemerintah ingin menciptakan perkembangan agar kewajiban Lapindo terhadap negara dapat segera terpenuhi.
Tapi, apabila aset tersebut tidak mencukupi, Kemenkeu menghendaki cara lain. “Termasuk pembayaran tunai, itu menjadi opsi utama dan kami melihat opsi lain yang bisa mereka pakai untuk melunasi,” kata Isa.
Selain Lapindo, Kemenkeu mencatat, negara masih memiliki banyak piutang. DJKN Kemenkeu mencatatkan, besarannya mencapai Rp 75,3 triliun yang berasal dari 59,514 berkas kasus piutang negara (BKPN).
Tapi, Kemenkeu hanya optimistis dapat mengejar tiga persen di antaranya atau sekitar Rp 2,26 triliun. Sebab, kebanyakan piutang sudah dimiliki sejak lama, sehingga tidak seluruhnya dapat ditelusuri dokumen, besaran maupun barang jaminannya.