REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Reza Indragiri Amriel, Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
"Tindakan tegas terukur...."
Kepolisian adalah salah satu institusi negara yang diberikan kewenangan menggunakan cara kekerasan dalam rangka penegakan hukum dan penciptaan rasa aman masyarakat. Namun, cara kekerasan, termasuk penggunaan senjata api, harus diterapkan secara terukur.
Apalagi jika penggunaan senjata api itu hingga mengakibatkan sasaran tewas, maka kejadian tersebut patut diasumsikan sebagai tahap puncak ketika personel polisi tidak lagi bisa mengandalkan cara-cara lain untuk menghentikan sasaran dari perbuatan jahatnya. Jika personel menembak mati sasaran, padahal sesungguhnya ia masih bisa mengandalkan cara-cara selain itu, maka muncul indikasi excessive force atau penggunaan kekerasan dengan cara yang berlebihan.
Alinea di atas menunjukkan ada tahapan atau prosedur yang semestinya dilalui oleh personel sebelum sampai ke fase puncak yaitu menggunakan senjata api untuk mematikan sasaran. Kesesuaian pelaksanaan di lapangan dengan prosedur tetap itulah yang ditakar untuk menilai kerja personel.
Personel bisa saja berargumentasi bahwa situasi memaksanya sedemikian rupa sehingga ia harus mengesampingkan tahap demi tahap dan langsung ke tahap puncak. Apa pun itu, dengan argumentasi seperti itu pun, memahami bahwa penembakan dilakukan oleh personel dan personel adalah manusia dengan kondisi psikologis tertentu, maka evaluasi atau investigasi tetap seharusnya diselenggarakan.
Situasi penembakan adalah situasi yang menegangkan. Bahkan bagi personel polisi sekali pun. Sekian banyak studi menyimpulkan, tingkat akurasi dalam episode tembak-menembak tergolong rendah.
Fakta ilmiah itu memunculkan pertanyaan tentang seberapa jauh sesungguhnya kesiapan personel bertindak-tanduk secara tepat pada momen menegangkan itu. Persoalannya memang bukan terletak sebatas pada keterampilan menggunakan senjata api (kesadaran), tapi juga pada dinamika psikologis yang tidak disadari personel, menyelinap, dan secara kuat memengaruhi proses berpikir dan berperilaku personel.
Dalam referensi psikologi forensik, misalnya, terdapat istilah penembakan yang menular (contagious shooting). Istilah tersebut bersinonim dengan reflexive fire dan sympathetic fire. Yakni, ketika satu personel menembak, hampir selalu bisa dipastikan dalam tempo cepat personel-personel lain juga akan melakukan penembakan.
Suara letusan senjata pertama, dengan demikian, berfungsi seperti aba-aba. Ketika para anggota tim kepolisian dilanda contagious shooting, kalkulasi rasional mereka tergantikan oleh perilaku refleks. Secara berangkai perilaku mereka tinggal mengikuti dan menirukan saja "aba-aba" yang mereka indera.