REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 mencapai 76 persen. SMRC menjelaskan alasan partisipasi pemilih tetap tinggi meskipun pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19.
Data SMRC juga menunjukkan persentase warga yang khawatir dan tidak khawatir dengan penularan Covid-19 saat pilkada. Mereka yang menyatakan tidak khawatir tertular Covid-19 mencapai 72 persen, sedangkan mereka kurang atau tidak khawatir tertular Covid-19 sebesar 25,4 persen.
Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad mengatakan, persentase warga yang khawatir dengan penularan Covid-19 saat pilkada sebenarnya cukup tinggi. Namun, 76 persen dari warga yang khawatir dengan penularan Covid-19 saat pilkada tetap menyatakan ikut dalam pilkada.
Saidiman mengatakan, tingginya tingkat partisipasi ini terkait dengan keyakinan publik atas protokol kesehatan dapat ditegakkan. "Kami duga, tingginya persentase partisipasi ini turut disumbang oleh kepercayaan warga bahwa protokol kesehatan ditegakkan di area pemungutan suara," kata Saidiman dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (17/12).
Publik menilai protokol kesehatan memang dijalankan pada hari pemungutan suara baik oleh pemilih maupun petugas. Pada 9 Desember 2020 lalu, hampir semua pemilih mengaku telah memakai masker (96 persen) dan menjaga jarak fisik (97 persen) ketika berada di TPS. Hampir semua pemilih juga menyatakan, petugas di TPS memakai masker (95 persen), memberikan sarung tangan kepada pemilih (94 persen), dan menyediakan tempat cuci tangan yang dilengkapi sabun dan air mengalir (95 persen).
Sementara itu pada kelompok yang menyatakan kurang atau tidak khawatir tertular Covid-19, ia mengatakan, sebagian besar atau 87 persen ikut memilih pada 9 Desember, yakni sebesar 87 persen, sedangkan jumlah yang tidak 13 persen. Ia mengatakan, kemungkinan informasi tentang bahaya Covid-19 kurang kuat pada mereka.
Alasan lainnya kemungkinan karena suksesnya mobilisasi pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Kelompok yang mudah dimobilisasi biasanya warga perdesaan dan kurang terpelajar.
"Tingginya tingkat partisipasi cenderung dari warga yang kurang khawatir dengan Covid, dan warga tersebut cenderung dari pedesaan dan kurang berpendidikan," ujar dia.
Saidiman mengatakan, tingkat partisipasi yang tinggi juga didorong oleh penilaian publik bahwa pilkada berlangsung dengan jujur dan adil (86 persen) sehingga suara mereka bermakna. Publik juga optimistis pilkada akan melahirkan pemimpin yang bagus untuk daerah (85 persen).
Partisipasi yang tinggi dalam pilkada ini konsisten dengan hasil survei sebelumnya, yakni publik tetap ingin punya kepala daerah yang mereka pilih secara langsung meski Covid-19.