REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana memprediksi Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima banyak permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepada daerah (pilkada). Hal ini karena ambang batas selisih perolehan suara antarpasangan calon (paslon) tidak diperiksa di awal, melainkan menjadi bagian dari pokok permohonan.
"Karena ambang batas tidak diperiksa di pendahuluan, sepertinya MK akan kebanjiran permohonan lagi seperti tahun 2015," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (18/12).
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020. MK mengatur syarat selisih atau perbedaan jumlah perolehan suara yang dapat disengketakan dengan memperhatikan jumlah penduduk maksimal dalam suatu provinsi atau kabupaten/kota. Misalnya, provinsi dengan jumlah penduduk maksimal dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dapat dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak dua persen. Kabupaten atau kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa bisa mengajukan sengketa bila ada selisih suara 0,5 persen.
Ihsan menyebutkan, atas ketentuan tersebut, Kode Inisiatif memproyeksikan akan ada 62 paslon yang mengajukan perselisihan hasil pilkada ke MK. Akan tetapi, jumlah ini kemungkinan juga bisa lebih banyak karena ketentuan ambang batas yang tidak diperiksa dalam tahap pemeriksaan pendahuluan.
"Mungkin karena paslon merasa bahwa ambang batas akan diterapkan di pokok permohonan bukan di awal, maka mereka pede (percaya diri, red) kalau permohonan mereka akan dikabulkan," katanya.
Ihsan menjelaskan, pada pilkada sebelumnya, ambang batas menjadi filter di awal dan diputus pada pemeriksaan pendahuluan atau putusan sela. Jadi kalau lewat ambang batas sengketa, permohonannya sudah pasti tidak dapat diterima (tahap pemeriksaan pendahuluan).
Hanya paslon yang memenuhi atau di bawah ambang batas saja yang akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan persidangan, pembuktian, hingga putusan. Sedangkan, yang akan berlaku sekarang, ambang batas akan diperiksa di pokok permohonan.
Dengan demikian, filter di awal hanya berkaitan dengan tenggat waktu pengajuan dan juga legal standing atau kedudukan hukum pemohon. Ambang batas akan diperiksa bersamaan dengan pembuktian dan diputuskan diakhir, apakah permohonannya ditolak atau dikabulkan.
"Karena ada proses pembuktian dulu nantinya kenapa suara mereka terlampau jauh dan di atas ambang batas. Kalau dulu, sudah lewat ambang batas, pasti tidak akan masuk pada tahap pokok permohonan," jelasnya.
Hal ini dibenarkan juru bicara MK Fajar Laksono. Ia mengatakan, MK akan menerima pengajuan permohonan sengketa perselisihan hasil pilkada terlebih dahulu dan ambang batas menjadi bagian yang diperiksa dalam proses persidangan
"Iya, menjadi bagian yang diperiksa dalam persidangan," kata Fajar saat dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat.
Pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan bupati/wali kota berlangsung dari 13 sampai 29 Desember dan pemilihan gubernur pada 16 sampai 30 Desember. Pengucapan putusan atau ketetapan perkara perselisihan hasil pemilihan pada 19 sampai 24 Maret 2021.
Fajar menuturkan, MK melakukan penguatan regulasi, sumber daya manusia, aplikasi, hingga sarana dan prasarana pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan ini. Di tengah pandemi Covid-19, MK menyiapkan hal khusus untuk kelancaran sidang yang digelar secara daring dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
"Hal khusus paling terkait dengan kelancaran sidang daring serta penerapan protokol kesehatan ketat saat sidang luring dan selama masa-masa penanganan sengketa hasil pilkada," kata Fajar.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id dalam laman resmi MK per 18 Desember pukul 16.00 WIB, terdapat 26 permohonan perselisihan hasil pemilihan bupati dan empat permohonan perselisihan hasil pemilihan wali kota. Sedangkan, pengajuan perselisihan hasil pemilihan gubernur belum masuk di MK.