REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal mengatakan, pelajar SMK perlu dibekali dengan kompetensi. Kompetensi ini terdiri dari tiga poin yaitu pengetahuan baru, keterampilan baru, dan karakter baru yang menciptakan critical thinking.
Menurutnya, hal ini sangat diperlukan karena pekerjaan yang sifatnya rutin hilang ke depannya dan digantikan oleh robot. Menurut data terbaru dari World Economic Forum, kata Rizal, akan hilang 85 juta pekerjaan lama dan muncul 97 juta pekerjaan baru yang belum terdefinisi sebelumnya.
"Poin saya bahwa anak kita harus dibekali kompetensi. Itu harus dimiliki anak-anak ke depan. Apa itu? Critical thinking, bernalar harus jadi hal utama," katanya dalam webinar Gerakan Sekolah Menyenangkan Sekolah Menengah Kejuruan, Senin (21/12).
Ia menuturkan, pelajar tidak harus dihadapkan pada kemampuan menguasai konten pengetahuan atau hardskill saja, seperti yang terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini yang hanya mengejar ketuntasan kurikulum. Namun, pelajar harus diberi kemampuan untuk dapat mengelola informasi dan mengolah berbagai pengetahuan dari berbagai sumber.
Dengan begitu, katanya, akan menjadi nilai tambah bagi pelajar itu sendiri. Sehingga, pelajar akan dapat beradaptasi dengan cepat di era disrupsi yang juga terus berubah dengan cepat.
"Sehingga anak kita tidak didorong untuk menghafal pengetahuan, tapi didorong untuk memproduksi sebuah produk yang bermanfaat bagi orang lain. Bisa di dunia industri, bisa juga di desa-desa," ujarnya.
Selain itu, dengan critical thinking juga membuat pelajar dapat menyelesaikan permasalahan dengan kemampuannya sendiri. Hal ini juga sangat dibutuhkan agar timbul kepercayaan diri dari pelajar itu sendiri.
"Ke depan di dunia yang berubah dengan cepat dan tak menentu ini, yang paling utama adalah kemampuan kepercayaan diri untuk selalu beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu sendiri. Kalau anak tidak percaya diri, bagaimana dia mau beradaptasi dan mau fleksibel dengan perubahan," jelasnya.
Untuk itu, Rizal menyebut, harus didorong dengan menciptakan ekosistem sekolah yang menyenangkan. Salah satunya dengan tidak menerapkan sistem pendidikan lama yang hanya berkutat pada penuntasan kurikulum.
"Sekolah kita saat ini masih menggunakan nilai-nilai lama, nilai usang, nilai-nilai revolusi industri 1.0 atau 2.0. Padahal kebutuhan keterampilan ke depan itu sudah berubah sangat cepat, tapi sekolah masih mempertahankan nilai lama dan budaya yang berakar sejak ratusan tahun lalu yang hanya mengikuti pemerintah," katanya.