REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para astronom telah mencari jawaban atas pertanyaan, bagaimana kehidupan di bumi terbentuk. Mereka mengumpulkan potongan-potongan kecil dari teka-teki kosmik untuk memahami bagaimana kehidupan terbentuk di planet bumi.
Kehidupan di planet lain mungkin tidak sama persis dengan kehidupan di Bumi. Sebuah studi baru menunjukkan kehidupan mikroba mungkin dapat bertahan hidup hanya dengan hidrogen dan tidak membutuhkan sinar matahari.
Studi ini diterbitkan pada Senin di Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Ketika datang untuk menemukan kehidupan di planet lain, para astronom hanya memiliki Bumi sebagai analogi untuk dunia yang menampung organisme hidup. Saat mencari kondisi apa yang cocok bagi kehidupan untuk bertahan hidup, mereka mendasarkannya pada beberapa unsur atau zat-zat yang dianggap penting bagi kehidupan di Bumi.
Sebuah planet akan membutuhkan air, atmosfer, dan sumber energi. Termasuk yang paling penting adalah jumlah panas, radiasi, dan cahaya tepat yang berasal dari bintang induknya. Seperti tata surya, matahari sangat berperan penting bagi planet-planet di sekitarnya.
Namun, para peneliti di balik studi baru tersebut menunjukkan kehidupan di planet lain mungkin tidak membutuhkan sinar matahari untuk terbentuk dan bertahan hidup. Sebaliknya, penelitian mereka menunjukkan kehidupan dapat bertahan hanya dengan hidrogen.
Mereka mengukur konsentrasi hidrogen dalam air lelehan dari gletser di Islandia Selatan. Dari situ, mereka menemukan ketika air lelehan melewati batuan basal, terlihat ada konsentrasi hidrogen yang lebih tinggi daripada di air lelehan yang melewati batuan berbasis karbon.
Menurut penelitian, saat air berinteraksi dengan permukaan mineral, tampaknya menghasilkan sumber daya kimia. Sumber tersebut digunakan bagi kehidupan mikroba sebagai energi yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan berkembang. Oleh karena itu, bahkan saat kehilangan sinar matahari, kehidupan mikroba dapat menemukan cara lain untuk bertahan hidup.
Anehnya, jalur metabolisme yang terlihat pada mikroba ini mencerminkan kehidupan yang ditemukan di tempat ekstrem lain. Mereka memiliki karakteristik yang sama dengan bakteri yang hidup di lingkungan yang sangat panas atau sangat asam. Misal, bakteri termofilik yang hidup di Grand Prismatic Spring di Taman Nasional Yellowstone.
Dikutip Inverse, Selasa (22/12), bentuk-bentuk kehidupan yang ekstrem ini dan tempat-tempat yang tampaknya bermusuhan mempercepat pencarian para astronom untuk kehidupan di tempat lain di alam semesta. Sejak penemuan planet luar surya pertama pada 1992 yang mengorbit di sekitar bintang selain Matahari, para astronom telah menemukan petunjuk bahwa kehidupan di luar bumi dapat berkembang di tempat lain.
Sejauh ini, para ilmuwan telah menemukan lebih dari 4.000 exoplanet. Beberapa di antaranya berada di zona Goldilocks atau zona laik huni. Ini adalah wilayah ruang antara bintang dan planet yang konon ideal untuk kehidupan bermunculan.
Para ilmuwan telah menemukan tanda-tanda fosfin di awan Venus. Ini sebagai petunjuk kecil kimia biologis. Sementara di Mars, para ilmuwan telah menemukan air, salah satu bahan utama kehidupan sama seperti sinar matahari.
Sayangnya semua itu hanyalah petunjuk belaka. Pencarian tentang kehidupan di planet-planet tersebut belum berhasil. Para ilmuwan di balik studi baru ini percaya jika kehidupan dapat berkembang di gletser Islandia, maka lingkungan serupa di exoplanet es mungkin juga mampu mendukung kehidupan.
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) segera berencana untuk meluncurkan Dragonfly, yaitu pesawat kecil seperti helikopter yang akan memindai atmosfer Titan untuk mencari tanda-tanda kehidupan. Titan adalah satelit terbesar Saturnus dan mengalami suhu permukaan beku 290 derajat Fahrenheit. Penjadwalan peluncuran itu pada 2026 nanti. Dragonfly akan mencari tanda biologis yang hanya bisa dihasilkan akibat dari kehidupan yang terbungkus dalam es Titan.