REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Dalam pekerjaaan kesehariannya, wartawan berhubungan dengan banyak orang. Dengan narasumber, kolega sesama wartawan, maupun dengan rekan di kantor.
Untuk berhubungan dengan orang yang bermacam-macam itu dibutuhkan pribadi yang terbuka, mudah berdaptasi, dan gampang menyesuaikan diri. Apalagi dengan narasumber, kadang kita baru sekali bertemu, dan dalam waktu yang pendek. Namun dalam waktu yang pendek itu wartawan harus cepat menyesuaikan diri dengan narasumbernya.
Ketiadaan informasi tentang narasumber baru akan membuat kita akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan. Ini pernah aku alami saat meliput di acara di Mako Kopassus tahun 1997.
Hari itu ada acara di Mako Kopassus Cijantung, Jakarta Timur. TNI bukan pos liputanku, tetapi waktu itu redaktur memintaku untuk meliput acara itu. Redaktur nasional memberi arahan apa yang harus aku tanya kepada Petinggi TNI di acara itu.
Wartawan perlu punya pertanyaan andalan. Ini agar beritanya tidak sama dengan wartawan lain. Biasanya jika wawancara dilakukan secara beramai-ramai atau door stop, informasinya akan seragam. Akhirnya berita yang turun juga sama.
Jika belum tahu isu apa yang sedang hangat di pos liputannya, wartawan bisa mencari informasi dengan membaca. Atau berdiskusi dengan redakturnya.
Upacara di lapangan Kopassus sudah selesai. Petinggi TNI dikerubuti wartawan. Banyak yang bertanya ini itu. Aku tak ikut bertanya. Hanya ikut menyodorkan tape recorder.
Petinggi cuma menyampaikan hal yang normatif. Aku ingin dapat informasi eksklusif dengan pertanyaan titipan dari redaktur.
Door stop itu hanya sebentar saja. Pihak Puspen TNI mengatakan Petinggi TNI akan melakukan ramah tamah di gedung pertemuan. Wartawan pun bubar.