Oleh : Joko Sadewo*
REPUBLIKA.CO.ID, Hari ini, Rabu 30 Desember 2020, FPI (Front Pembela Islam) ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Semua kegiatan, atribur, dan semua yang berhubungan dengan FPI dilarang oleh negara.
Selamat Datang Front Pejuang Islam
#TetapTegakWalauTanganTerikat
Begitulah bunyi meme yang masuk ke pesan watsapp saya. Satu dari sekian banyak meme pembubaran FPI, yang hari ini masuk ke handphone. Ada meme yang mendukung, ada pula yang menolak.
Dalam satu bulan terakhir, FPI menjadi satu organisasi yang paling banyak diperbincangkan dan diperdebatkan. Dimulai dari kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dijemput puluhan ribu pendukungnya.
Berlanjut ke persoalan kerumunan saat pernikahan HRS, pencopotan baliho HRS oleh TNI, hingga tewasnya enam pengawal HRS oleh polisi. Drama FPI kemudian berlanjut ke proses hukum. HRS dan pimpinan FPI pun satu per satu dipolisikan.
Dan pada akhirnya FPI secara kelembagaan resmi dibubarkan oleh pemerintah. Segala kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut Front Pembela Islam di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilarang oleh pemerintah.
Saya tidak tahu apakah drama ini akan berlanjut ke episode-episode selanjutnya. Juga tidak tahu apakah akan muncul gejolak dan turunnya massa ke jalan, ataukah biasa-biasa saja.
Saya tidak akan bicara tentang eksistensi sosial politik FPI. Karena di sebagian umat Islam FPI adalah hero, tapi di sebagian lainnya FPI dianggap sebagai organisasi yang meresahkan.
Dianggap hero karena FPI menjadi satu-satunya organisasi yang berani melakukan action melawan hal-hal yang dianggapnya sebuah ‘kemungkaran’. Tapi bagi yang menilainya organisasi yang meresahkan, mereka menganggap FPI bukanlah organisasi yang toleran dan aksinya dianggap sering mengabaikan prosedur hukum.
Saya hanya ingin mengungkapkan pengalaman pribadi saya, ketika meliput bencana tsunami Aceh. Jujur saya terkesan dengan aksi kemanusiaan para relawan FPI.
Saya masuk ke Aceh sekitar tujuh hari pascabencana. Saat itu tentu saja kondisinya sangat mengenaskan. Bangunan hancur, bau anyir mayat, dan masih banyak jenazah yang masih tertimbun bangunan.
Jangankan makanan enak, untuk bisa menemukan warung makan yang buka saja, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Kondisinya masih sangat mencekam dan memprihatinkan.
Diawal liputan bencana ini, saya singgah di Pendopo Banda Aceh. Bergabung dengan sejumlah relawan yang saat itu juga mulai berdatangan.
Di antara para relawan itu, saya mencoba mencari informasi, ternyata relawan FPI merupakan relawan yang paling cepat datang di Aceh. Mereka datang dari sejumlah wilayah yang ada di sekitar Aceh. Mereka datang dari jalur darat dan laut, karena memang jalur penerbangan yang diawal-awal bencana masih belum bisa digunakan.
Setiapkali bergerak meliput ke lokasi evakuasi ataupun lokasi bencana, di jalan Aceh yang masih sepi, bisa dipastikan saya berpapasan dengan truk ataupun mobil bak terbuka, lengkap dengan sejumlah orang yang berbaju putih berlogo FPI.
Ya. Mereka adalah relawan FPI yang sedang melakukan evakuasi jenazah.
Di antara relawan di Aceh, menurut relawan yang ada di sana, mereka menyebutnya relawan ekstrim. Konteknya tentu bukan karena FPI mengevakuasi jenazah sambil membubarkan tempat hiburan (nyari warung aja susah kok tempat hiburan), tapi dalam konteks keberanian mereka mengambil jenazah di tempat-tempat berbahaya.
Saat itu, rata-rata korban yang masih tersisa di lokasi bencana adalah korban yang tertimbun bangunan. Sebelum mengevakuasi, relawan harus memperhitungkan kekuatan bangunan yang masih tersisa. Salah perhitungan mereka bisa saja kejatuhan sisa bangunan. Nah, dalam konteks ini, relawan FPI kami kenal sebagai relawan yang sering berani mengambil risiko.