Kamis 31 Dec 2020 13:14 WIB

FPI Tempuh Jalur Hukum, Pemerintah Diminta Taat Konstitusi

HNW menilai langkah FPI sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi

 Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap Tim Hukum Front Pembela Islam (FPI) menyiapkan langkah hukum, sesuai  arahan Habib Rizieq Syihab, menyikapi  terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Kejaksaan Agung dan BNPT.  Surat Keputusan Bersama, itu berisi pelarangan kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan FPI.
Foto: istimewa
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap Tim Hukum Front Pembela Islam (FPI) menyiapkan langkah hukum, sesuai arahan Habib Rizieq Syihab, menyikapi terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Kejaksaan Agung dan BNPT. Surat Keputusan Bersama, itu berisi pelarangan kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan FPI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr. H.  M. Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap Tim Hukum Front Pembela Islam (FPI) menyiapkan langkah hukum, sesuai  arahan Habib Rizieq Syihab, menyikapi  terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Kejaksaan Agung dan BNPT.  Surat Keputusan Bersama, itu berisi pelarangan kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan FPI. 

Oleh karena itu, Hidayat Nur Wahid berharap pengadilan – dalam hal ini PTUN - dan Pemerintah, harus membuktikan dan mengedepankan ketaatan pelaksanaan ketentuan hukum dan konstitusi dalam kasus ini. Apalagi, Komnas HAM  telah mengingatkan bahwa pelarangan Ormas harus sesuai Konstitusi.

Sementara penerbitan SKB larangan dan penghentian kegiatan FPI itu dinilai oleh Koalisi Masyarakat Sipil seperti LBH, KontraS, PSHK, dan LBHPers,  sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip negara Hukum dan Demokrasi. 

“Upaya hukum FPI, itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen, bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat). Karena itu setiap tindakan penyelenggara negara  harus berbasis kebenaran dan keadilan hukum. Karenanya,  Pemerintah juga harus mengimbangi langkah hukum FPI dengan komitmen penegakan hukum dan konstitusi. Dulu FPI tidak mendapatkan  SKT karena belum mendapatkan rekomendasi dari Kemeterian Agama. Nyatanya Menteri Agama Fachrul Razi, telah memberikan rekomendasi perpanjangan SKT pada 29/11/2019, karena FPI telah berkomitmen kepada Pancasila dan NKRI,” kata Hidayat dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (31/12). 

HNW sapaan akrab Hidayat menyayangkan aturan main dalam kasus penghentian dan pelarangan kegiatan FPI, yakni UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang sangat jauh dari prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM. Dalam UU Ormas tersebut, sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas bisa dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Ini salah satu ciri negara kekuasaan, dan bukan ciri dasar negara hukum.

“Padahal di UU Ormas sebelumnya (UU No.17/2013), pemberian sanksi harus melewati mekanisme proses peradilan. Pasal 65 UU No.17/2013 menyebutkan bahwa penghentian sementara kegiatan suatu ormas wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, di UU Ormas perubahan (UU N0.16/2017) yang berasal dari Perppu yang diteken oleh Presiden Jokowi, ketentuan itu dihapuskan,” ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement