Oleh : Elba Damhuri, Kepala Republika Online
REPUBLIKA.CO.ID --- Era mobil listrik telah datang. Hal ini sesuai dengan prediksi dan riset banyak pihak, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF)-Georgetown University.
IMF-Georgetown dalam kajian pada tahun 2017 berjudul "Riding the Energy Transition" menyebutkan, periode gegap gempita penggunaan kendaraan listrik--mobil dan motor--lebih cepat dari yang diperkirakan. Para peneliti berpendapat, lebih dari 90 persen dari semua kendaraan penumpang di Amerika Serikat (AS), Kanada, Eropa, dan negara-negara kaya lainnya akan beralih ke kendaraan listrik pada 2040.
Bahkan, riset IMF-Georgetown ini menyebut, peralihan ke mobil listrik lebih cepat 10 tahun dari yang diperkirakan, yakni pada 2030. Pada saat itu, tahun 2017, dari lebih dari satu miliar kendaraan yang ada di jalan, hanya dua juta yang bertenaga listrik. Dengan satu juta di antaranya ada di China.
Jika kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) ini hadir lebih cepat dari yang diproyeksikan, hal itu dapat mengurangi penggunaan minyak hingga 21 juta barel per hari. Juga, bisa mengurangi emisi karbon (CO2) sampai 3,2 miliar ton per tahun--setara dengan 60 persen dari total emisi karbon di AS saat ini.
IMF dan Georgetown tepat memprediksi pergerakan industri kendaraan listrik. Beberapa negara seperti Inggris dan Prancis sudah mengatur untuk menutup beroperasinya kendaraan berbahan bakar fosil.
Jerman, China, dan India juga sedang berderap melangkah bersama untuk fokus pada energi listrik ini. China terlihat paling serius dan butuh dalam mengembangkan industri kendaraan listriknya.
Bagaimana Indonesia? Sama seperti banyak negara lain, Indonesia tidak mau menjadi penonton di tengah transformasi industri global ini.
Jelas, Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik ini. Presiden Joko Widodo bahkan sudah menyiapkan Morowali sebagai pabrik baterai litium terbesar di dunia.