Rabu 06 Jan 2021 07:11 WIB

Umroh tanpa Pembimbing

Sebuah kisah unik pergi umroh tanpa pembimbing

Ilustrasi Wisata Umrah
Foto: Foto : MgRol100
Ilustrasi Wisata Umrah

Oleh : Bustanul Arifin, Akademisi/Kolomnis

REPUBLIKA.CO.ID -- Kemarin di WA Group jumpa dan ngobrol dengan Kang Asep (Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, Guru Besar UIN Sunan Gunung Jati, Bandung). Kami satu sekolah waktu Program Masters di University of Wisconsin-Madison, AS.

Izin saya berbagi cerita sedikit tentang kekonyolan (tepatnya: ketidaktahuan) saya dan Kang Asep, yang pergi umroh tanpa pembimbing, untuk refresh memori saja agar tidak pikun.

Begitu selesai sekolah, saya dan Kang Asep memang berniat mau mampir umroh, dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Kita urus-urus surat-surat administrasi ke KBRI Washington DC, dibantu Pak Hamdan. Kita belum pernah jumpa beliau, tapi orangnya sangat helpful. 

Bahkan, menguruskan visa masuk Arab Saudi juga, menggunakan paspor biru kita. Saya lupa berapa membayar biaya administrasinya. Seandainya pas jadwal pulang bersamaan dengan musim haji, insya Allah kita akan mampir haji juga. Bang Azhar Lubis pernah melakukan hal ini, juga dibantu Pak Hamdan. 

Tiket pulang dari sponsor kita ubah rutenya, melalui Travel Agent. Biasanya, tiket pulang ke Indonesia lewat LA (Garuda) atau lewat Narita (Northwest) atau Hongkong (United). Kita ubah lewat Chicago-London, terus Jeddah, transit sekian hari, terus Jakarta. Saya lupa, berapa harus nambah biaya. Tidak mahal sih, mungkin sekitar US$ 200 atau 250. 

Namanya saja kita pergi sendiri, tanpa Travel, semua dikerjakan sendiri/berdua, setiap orang membawa 2 koper gede-gede. Begitu mendarat di Jeddah, pemeriksaan imigrasi aman-aman. Sempat ditanya mau ke mana?

Kita bilang mau mampir umroh, sekalian perjalanan pulang sekolah dari AS ke Indonesia. Kalau kita bisa berhasa Inggris, orang-orang Arab biasanya agak hormat. 

Kita tukar uang Riyal secukupnya untuk naik taksi. Di luar Bandara banyak sopir taksi (dan mungkin calo-calo) menawarkan jasanya “Haram...haram...haram”. 

Kang Asep dan saya bisa lah sedikit berbicara Bahasa Arab, “Nahnu nadzhabu ila masjidil haram”. Kosa kata itu yang sering kita ingat waktu sekolah madrasah di kampung.

Ya, benar. Kita diturunkan di depan Masjidil Haram, ada semacam Terminal Taxi Bayangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 dini hari Waktu Makkah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement