REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Lagi ramai di media sosial (medsos). Ada orang yang menyamar menjadi 'gembel' di Ibu Kota. Saya tidak mau membahas drama tersebut. Sudah banyak diulas. Sensitif.
Saya juga punya pengalaman menyamar, tapi untuk kepentingan berita. Pada sekitar 1996, saya dapat tugas dari Pemimpin Umum Harian Merdeka, Mas Margiono. Perintahnya singkat padat. Hari itu juga saya diminta mencari dan mewawancarai Jenderal TNI R Hartono. Tentu tidak semudah mencari gembel. Dia adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Saat itu dia sangat popular.
Margiono tahu, tidak mudah mewawancarai orang supersibuk, apalagi tidak melalui permohonan wawancara khusus. Dia bilang," SG, ini untuk HL (headline) kita besok, saya akan kasih bonus Rp 500 ribu, jika berhasil," kata Margiono. SG adalah panggilan saya di Harian Merdeka.
Uang Rp 500 ribu saat itu cukup banyak. Belum terjadi krisis moneter. Gaji saya saat itu pun sekitar Rp 1 juta per bulan. Ini tantangan saya sebagai reporter khusus halaman utama. Mungkin Wapemred Bang Karim Paputungan, Redpel Bang Nuah Torong, dan Redaktur Polkam Bang Ludin Panjaitan, sebagai atasan saya, tidak ingat peristiwa itu.
Saya ditemani wartawan piket almarhum Bang Cekwan Lubis yang mengantar dengan mobilnya. Colek Mulia Siregar, dan Zaenuddin H Machmud. Hari itu saya lacak agenda Jenderal Hartono dari beberapa sumber di Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Peluang saya untuk bertemu cuma satu di acara tertutup perwira tinggi TNI di Balai Kartini, Jakarta Selatan, malam hari.
Saya harus bisa masuk dari pintu belakang yang agak longgar. Caranya? Saya harus menyamar menjadi pramusaji. Maka sore itu, saya minta diantar Bang Cekwan Lubis membeli pakaian berupa celana bahan hitam, baju putih lengan panjang, minyak rambut, rompi hitam, dan dasi kupu-kupu hitam. Plus gunting kecil untuk rapikan kumis.
Maghrib, kami parkir di kantor Kanwil Dikbud DKI Jakarta. Di seberang timur Balai Kartini. Sholat Magrib, kemudian berdandan layaknya pramusaji. Rapi dan rambut licin mengkilat. Makan roti terlebih dahulu untuk ganjal perut. Saya pun melangkah ke arah Balai Kartini, pintu belakang.
Ternyata betul. Pakaian saya sudah mirip pramusaji. Tidak ada yang curiga. Saya pun berjalan menuju ruangan. Pura-pura bereskan meja, sambil cari tahu meja bundar untuk tempat duduk Jenderal Hartono.
Saat acara dimulai, mata saya tertuju ke meja Jenderal Hartono yang mengenakan jas hitam. Saya lihat wajahnya cerah, tidak kusut. Artinya saya punya peluang jumpa dan bakal diterima.
Ketika acara jelang selesai, saya harus berpikir cepat. Bagaimana caranya bisa menuju meja utama. Secepat kilat saya sambar baki untuk gelas kotor dan menuju meja utama.
"Selamat malam, Pak. Ada yang ingin saya tanyakan."
"Kamu wartawan kok ada di sini? Ini kan tertutup bagi wartawan. Kamu nyamar ya? Hahaha."
Dia tahu saya wartawan, karena kerap liputan di Mabesad, walau tidak tahu nama saya. Saya satu-satunya wartawan yang diajak masuk ke dalam tank Scorpion saat alutsista itu pertama kali dipamerkan di Kemayoran. Ini gara-gara pertanyaan saya kepada KSAD. "Saya tidak yakin Jenderal bisa mengemudikan alutsista modern, walau Jenderal Kavaleri sekali pun."
BACA JUGA: Cek Fakta: Vaksin Sinovac Disebut Paling Lemah di Dunia, Benarkah?