Senin 11 Jan 2021 14:01 WIB

Sosial Media Parler di Tengah Politik Amerika Serikat

Parler menjadi populer di kalangan pendukung Presiden Donald Trump.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Seseorang mencoba mengakses akun aplikasi Parler di ponselnya, di Hialeah, Florida, AS, 10 Januari 2021. Setelah Apple dan Google menghapus Parlour dari toko mereka, Amazon memberi tahu Parler bahwa itu akan memutus jaringan sosial dari cloud hostingnya layanan Amazon Web Services.
Foto: EPA-EFE/CRISTOBAL HERRERA-ULASHKEVICH
Seseorang mencoba mengakses akun aplikasi Parler di ponselnya, di Hialeah, Florida, AS, 10 Januari 2021. Setelah Apple dan Google menghapus Parlour dari toko mereka, Amazon memberi tahu Parler bahwa itu akan memutus jaringan sosial dari cloud hostingnya layanan Amazon Web Services.

REPUBLIKA.CO.ID, NEVADA --  Jutaan pendukung Presiden Donald Trump menggunakan Parler sebagai sosial media mereka. Mereka menggunakan Parler lantaran muak dengan banyaknya sensor di Facebook dan Twitter.

Di aplikasi tersebut, diskusi tentang politik telah meningkat. Begitu pula teori konspirasi yang secara keliru mengatakan pemilihan tersebut telah dicuri dari Trump. Pekan lalu, pengguna mendesak demonstrasi agresif ketika Kongres bertemu untuk mengesahkan pemilihan presiden terpilih Joseph R. Biden Jr.

Baca Juga

Sabtu (9/1) malam waktu Amerika, Apple dan Google telah menghapus Parler dari toko aplikasi mereka. Amazon mengatakan tidak akan lagi menghosting situs tersebut di layanan komputasinya. Amazon beralasan tidak cukup mengawasi pos yang menghasut kekerasan dan kejahatan. Akibatnya, Parler akan menghilang dari web pada Senin (11/1).

Dilansir dari The New York Times, Senin (11/1), Insinyur Perangkat Lunak dan Chief Executive John Matze mengatakan pada Ahad (10/1), ia berlomba untuk menyimpan data sekitar 15 juta pengguna Parler dari komputer Amazon. Ia juga menelepon perusahaan demi perusahaan untuk menemukan seseorang yang bersedia mendukung Parler dengan ratusan server komputer.

Parler kini telah menjadi kasus uji dalam debat nasional yang diperbarui tentang kebebasan berbicara di internet dan apakah raksasa teknologi seperti Facebook, Google, Apple dan Amazon memiliki terlalu banyak kekuatan. Perdebatan itu semakin meningkat sejak Trump dilarang mengunggah di Twitter dan Facebook pekan lalu, setelah massa menyerbu Capitol.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement