REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Eko Widiyatno, Jurnalis Republika/Petani
Presiden Joko Widodo, belum lama ini mempertanyakan manfaat pemberian subsidi pupuk yang sudah berlangsung sekian tahun. Dengan nada gusar, beliau mempertanyakan, ''Dengan subsidi sebesar Rp 33 triliun, return atau kembaliannya apa? Apakah ada peningkatan produksi?''
Dalam pernyataannya itu, Presiden secara implisit menyebutkan, dengan subsidi pupuk sebesar itu, mestinya produksi pangan atau pertanian seharusnya mengalami lonjakan. Bukan stagnan, atau malah mengalami penurunan.
Dalam sejarahnya, pengalokasian subsidi pupuk tidak hanya berlangsung pada era pemerintahan Joko Widodo saja. Bukan pula pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Gus Dur, atau Habibie. Tapi jauh sebelum itu, yakni sejak masa-masa awal era Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun.
Kalau dikalkulasi keseluruhan nilai subsidi yang telah digelontorkan sejak rezim Orde Baru, entah sudah berapa ribu triliun dana APBN yang dialokasikan untuk subsidi pupuk.
Namun yang perlu dicermati, ketika Soeharto memutuskan untuk memberikan subsidi pada komoditas pupuk, beliau memiliki satu tujuan besar yaitu swasembada pangan. Masalah kelangkaan pangan yang terjadi menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Lama hingga awal Orde Baru, menjadi catatan penting bagi Soeharto agar hal itu tidak terjadi lagi.
Cita-cita swasembada pangan ini, tercapai pada pada tahun 1984. Pada masa itu dan beberapa tahun berikutnya, Indonesia bisa terlepas dari ketergantungan impor pangan.
Untuk mencapai swasembada pangan, ada cukup banyak kebijakan yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Tidak hanya mengalokasikan dana dari APBN untuk mensubsidi harga pupuk, Soeharto juga membentuk lembaga Badan Urusan Logistik (Bulog). Melalui lembaga ini, harga pangan, khususnya beras, bisa dikendalikan pemerintah.
Pengendalian harga yang dimaksud, bukan dimaksudkan agar harga beras agar bisa ditekan serendah mungkin. Lebih dari itu, pengendalian harga beras dimaksudkan agar harga jual beras tetap bisa menguntungkan petani, di sisi lain juga harga beras bisa tetap terjangkau masyarakat.
Untuk itu, secara periodik Soeharto menerbitkan peraturan presiden mengenai harga pembelian pemerintah terhadap komoditi beras. Instrumen ini mirip UMP (Upah Minimun Pemerintah) di sektor industri.
Melalui instrumen UMP, pengusaha tidak terlalu berat membiayai ongkos produksi, di sisi lain juga mempertimbangkan upah yang sepadan dari kerja buruhnya.
Melalui instrumen HPP ini, Bulog menjalankan core bisnisnya. Pada saat harga beras atau gabah di pasaran anjlok di bawah HPP, maka Bulog akan melakukan pembelian/penyerapan beras petani dengan harga sesuai HPP.
Demikian juga saat harga beras/gabah melonjak (bukan melangit, karena sejak era tahun 80-an tidak pernah harga beras melangit), Bulog bisa melepas beras atau gabah yang sebelumnya diserap dari petani dengan harga HPP.