REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia; Sekretaris Institut Indonesia
Kurang lebih satu pekan sudah dunia Islam menghirup napas lega setelah "KTT Al-Ula" yang diselenggarakan di Arab Saudi menyaksikan runtuhnya tabir krisis Teluk. Krisis yang telah memasuki tahun keempat, menyusul perbedaan politik antara Mesir, UEA, Arab Saudi, dan Bahrain di satu sisi, dan Qatar di sisi lain. Keempat negara akhirnya sepakat memulihkan hubungan dengan Qatar, termasuk masalah penerbangan.
Hari-hari setelah rekonsiliasi itu, ucapan selamat dan dukungan terus mengalir menghiasi beragam pemberitaan media. Bagi Qatar, rekonsiliasi ini menjadi titik kebangkitan ekonomi yang sempat melemah pasca pemboikotan selama kurang lebih empat tahun. Begitu pun bagi negara-negara koalisi. Mereka mengakui posisi Qatar yang memiliki sumber pendapatan strategis, terletak di kawasan vital secara geopolitik dan memainkan peran ekonomi yang penting di kawasan.
Pada saat yang sama, Qatar terletak di kawasan yang bergejolak antara dua negara, Arab Saudi dan Iran. Amerika jelas memainkan peran penting dalam proses rekonsiliasi Teluk ini untuk memenuhi beragam kepentingan, termasuk melestarikan dan memperluas kekuasaan entitas Zionis di Palestina dan guna menghadapi Iran.