REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Asep Sahid Gatara (Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Se-Indonesia (APSIPOL)
Pada 20 Januari 2021, Amerika Serikat akan memiliki presiden baru yang ke-46, yaitu, Joe Biden. Ia merupakan presiden terpilih pada Pilpres Amerika Serikat, 3 November 2020 lalu. Dalam Pilpres tersebut, Joe Biden yang berpasangan dengan Kamala Harris menang dengan meraih 306 electoral votes dan 78 juta popular votes atau sekitar 50,8 persen.
Angka ini disebut-sebut sebagai raihan suara tersebesar dalam sejarah Pilpres AS. Sementara lawannya, calon presiden petahana, Donald Trump yang berpasangan dengan Mike Pence, hanya mengumpulkan 232 electoral votes dan 72,8 juta popular votes atau 47,4 persen.
Namun sayang, menjelang pelantikannya, FBI memperingatkan badan-badan kepolisian tentang kemungkinan demonstrasi bersenjata di 50 gedung DPR negara bagian. Protes bersenjata itu dilancarkan oleh para pendukung Donald Trump yang percaya klaim palsu tentang kecurangan Pilpres AS.
Sejauh ini, badan intelejen AS telah mengantisipasinya agar tidak kembali kecolongan seperti penyerbuan pendukung Donald Trump ke gedung Capitol AS, yang menewaskan lima orang dan melukai puluhan orang.
Penyerbuan gedung Capitol AS dan ancaman pemberontakan bersenjata kaum ekstremis menjelang dan saat pelantikan presiden seolah menjelaskan dan melengkapi deretan permasalahan yang selama ini membelit demokrasi Amerika Serikat. Permasalahan yang belakangan telah melahirkan situasi keterancaman dan sekaligus ketercekaman warga Amerika.
Sebelumnya, selama hajatan Pilpres banyak dihiasi oleh parade kebohongan dan kebencian yang diperagakan oleh calon presiden petahana. Bahkan pada tahapan penghitungan dan penetapan suara, Donald Trump tidak mau mengakui kemenangan Joe Biden. Meskipun pada akhirnya, pascakerusuhan 6 Januari 2021, ia mau menerima kekalahannya.
Musuh demokrasi
Keterancaman, kebohongan, dan kebencian adalah musuh demokrasi karena tujuan demokrasi adalah pembebasan manusia dari rasa ketakutan, kemiskinan, kepalsuan, dan peperangan. Dengan pembebasan itu manusia diidealkan menjadi merdeka dan berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi.
Itu artinya, untuk apa ada demokrasi kalau masih ada ketakutan, situasi yang membuat warga takut berpendapat, tidak bebas berserikat atau berkumpul, tidak leluasa dalam beragama atau berkeyakinan, dan takut berpergian.
Lalu, untuk apa ada demokrasi kalau masih ada kemiskinan, suatu kondisi kesenjangan masyarakat antara si kaya dan si miskin, ada kelaparan dan lemahnya daya beli warga. Kemudian, untuk apa ada demokrasi kalau masih ada kepalsuan, situasi kebangsaan dan kenegaraan yang dikelola dengan dasar-dasar pembodohan dan ketidakjujuran para penguasa. Dan, untuk apa ada demokrasi kalau masih ada perang atau kerusuhan, situasi yang dipilih dengan cara mengobarkan permusuhan dan pertumpahan darah dalam mencapai tujuan tertentu.
Demokrasi seperti itu akrab dengan kehampaan (Nothing), yaitu kondisi demokrasi dengan kekosongan subtantif, kebodohan, dan kekecewaan. Demokrasi kehampaan menjadi sistem politik yang dipuja padahal sia-sia karena tidak ada hasilnya. Sehingga tidak ada perbedaan unik antara tatanan sosial yang demokrasi dengan tatanan sosial yang bukan demokrasi. Atau pun tidak ada perbedaan khas antara demokrasi di negara maju dengan demokrasi di negara ketiga atau negara berkembang.
Demokrasi kehampaan ditopang oleh ruang-ruang sepi dan gelap karena kesenjangan yang sangat lebar antara subtansi dangan prosedur. Demokrasi subtansial tidak berjalan dengan baik karena ia telah dibajak sedemikian rupa oleh dan atas nama prosedur-prosedur tertentu.
Ada konstitusi, tetapi tidak ada penjaminan dan pemenuhan hak-hak konstitusi warga; Ada lembaga keamanan, tetapi tidak ada rasa aman; Ada penegak hukum, tetapi tidak ada kepastian dan keadilan; Dan ada lembaga permusyawaratan, tetapi tidak ada musyawarah dan konsensus.
Dalam konteks itu, sebagian isi buku “How Democracy Die” yang disusun oleh Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2018) nampak mendapatkan relevansi dan momentumnya. Buku tersebut mengingatkan kita bahwa demokrasi Amerika, dengan situasi seperti di atas, tengah menuju kematian. Dan ironisnya, kematian itu disokong bukan oleh jenderal pemegang senjata, namun oleh pemimpin sipil terpilih secara demokrasi.
Oleh karena itu, wajar bila kedua penulis di atas menekankan bahwa demokrasi Amerika Serikat sesungguhnya tidak seluar biasa seperti kita lazimnya percayai dan kiblati. Tak ada isi konstitusi atau budaya AS yang membuat Amerika Serikat kebal terhadap kerusakan demokrasi. Tercatat dalam sejarah misalnya, Amerika Serikat pernah mengalami huru-hara politik, ketika permusuhan antardaerah dan partisan ekstrem membelah negara sehingga memicu perang saudara yang lama dan mengerikan.
Penyelamatan darurat
Mendefinisikan demokrasi Amerika sebagai pasien politik yang gawat darurat karena serba hampa menjadi urgen dan relevan agar tercipta pemosisian tindakan penyelamatan yang bukan biasa-biasa, tetapi yang luar biasa atau tindakan emergensi. Tindakan tersebut dibutuhkan agar demokrasi segera “kembali ke khittah” dan menjauh dari zona kematian.
Tindakan utamanya adalah memotong alur angin yang meniupkan kehampaan di sana sini, dan secara bersamaan mendorong subtansi-subtansi demokrasi agar segera hadir. Sehingga adanya demokrasi akan terasa adanya, bukan sebaliknya, adanya seperti tidak adanya (wujuduhu kaadamihi).
Untuk konteks AS, subtansi-subtansi demokrasi tersebut adalah kebebasan, kesetaraan, individualisme, dan konstitusionalisme. Subtansi-subtansi yang tidak hanya sekedar soal demokrasi dan ideologi, namun telah menjadi “Aqidah Amerika”, atau dalam istilah Samuel Huntington, “American Creed”.
Aqidah tersebut dipagari oleh norma-norma tidak tertulis, seperti “toleransi” dan “menahan diri”. Norma yang mengakui sekaligus menghormati lawan politik sebagai rival sah, bukan musuh yang liar dan mengancam; Dan, tidak tergoda untuk menggunakan lembaga-lembaga negara, seperti lembaga keamanan dan badan peradilan, untuk membunuh musuh politik.
Semua itu menjadi tantangan terdekat bagi Joe Biden dan Kamala Harris untuk cepat dijawab bila pelantikannya berjalan “mulus”. Tentu harapannya, sekali mendayung satu dua pulau terlampaui. Artinya, memulihkan demokrasi Amerika yang hampa seraya meluruskan kembali arah kiblat demokrasi global. Memang bukan tugas yang mudah, selain karena kegawatdaruratannya permasalahan demokrasi Amerika, juga karena mata dan telinga warga dunia sudah kadung terbukakan. Wallahu a'lam bi shawab.