Selasa 19 Jan 2021 06:08 WIB

Pura-Pura Jadi Turis, Ditangkap Tentara Malaysia

Jika laporan itu kamu muat, bisa mengganggu hubungan diplomatik RI dan Malaysia.

Wartawan senior Republika, Selamat Ginting.
Foto: dok. pribadi
Wartawan senior Republika, Selamat Ginting.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Matahari masih bersinar terang di atas langit Tebedu, Kuching, Serawak, Malaysia. Daerah tapal batas dengan Kecamatan Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saat itu, kami menyaksikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong yang baru selesai dibangun.

Kami beristirahat sambil makan dan minum di beberapa kedai, tak jauh dari pos lintas batas. Saya menjadi bagian dari wartawan Hankam ABRI yang melakukan press tour, sekitar tahun 1994-1995. Dipimpin Kolonel (Zeni) FX Bachtiar. Tentara spesialis intelijen yang punya hubungan dekat dengan Jenderal TNI (Purn) LB Moerdani.

Dia kepala bagian humas Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Sebagai Kepala Biro Humas Kerjasama Luar Negeri Dephankam adalah Laksamana Pertama TNI Yuswaji. Sama-sama perwira spesialis intelijen.  

Untuk masyarakat perbatasan Entikong dan Sekayam, cukup hanya membawa kartu Pas Lintas Batas (PLB), tak perlu paspor. Tapi, hanya boleh sampai sore saja. Karena liputan di perbatasan, maka kami juga diizinkan masuk wilayah Tebedu oleh petugas imigrasi Malaysia tanpa paspor.

Dalam bahasa Malaysia, disebut Kompleks Kastam Imigresen dan Kuarantin atau Custom Immigration and Quarantine (CIQ) Tebedu, Serian, Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Singkatnya, Kompleks Imigresen Tebedu.

Kolonel Bachtiar memberikan kesempatan pada rombongan untuk meliput sekitar tiga jam di wilayah Kedu, Serawak. Di situ para wartawan bebas mau meliput apa saja. Tentu pikiran dan wawasan para wartawan pun berbeda-beda. Ada yang sibuk berbelanja makanan, pakaian, dan oleh-oleh lainnya. Belanja di sana, boleh menggunakan mata uang rupiah. Tapi kembaliannya pakai ringgit.

Berkat sepatu boot

Saya tidak mempunyai uang banyak. Karena itu saya hanya mampu membeli minuman mineral dan biskuit. Termasuk membeli sepatu boat. Mengapa saya membeli sepatu boot? Karena saya berencana memanfaatkan waktu yang sempit untuk masuk ke hutan wilayah Serawak. Hutan tropis yang lembab.

Saya bersama wartawan muda lainnya, antara lain Totok Suryanto. Kini wakil pemimpin redaksi (Pemred) TV One. Saat itu, ia masih menjadi wartawan sebuah majalah berita. Sedangkan saya wartawan di Harian Merdeka. Kami menyusuri hutan dan sungai-sungai. Sehingga celana kami pun basah hingga sepaha.

Saat itu, kami tidak saling tahu apa yang ada dipikiran rekan dalam liputan. Rekan liputan, tetap saja rival. Kami harus berkompetisi mencari liputan-liputan yang berbeda. Di tengah hutan, kami berpisah. Berjalan sendiri mencari liputan-liputan yang unik.

Sampailah saya di sebuah gubuk di atas pohon. Saya tatap gubuk tersebut. Maka saya berpikir, ini pastilah pos pemantauan. Tapi saya lihat tidak ada yang berseragam tentara. Saya pun berteriak memanggil-manggil. Si penjaga mengeluarkan wajahnya dari balik jendela.

Ia mengingatkan saya tidak boleh melanjutkan perjalanan lagi, karena di depan ada pos tentara Malaysia. Mungkin sudah sekitar dua kilometer (km) kami memasuki wilayah Serawak. Larangan itu bagi saya justru menjadi tantangan yang harus saya langgar.

Alasannya sederhana. Saya liputan bersama TNI, maka saya harus tahu pos tentara Malaysia di dalam hutan. Saya pun melanjutkan perjalanan. Mempercepat langkahnya, sedikit berlari. Terpikir juga, saya tidak boleh diketahui identitasnya sebagai wartawan. Apalagi wartawan liputan Dephankam/ABRI.

Antara berani dengan tidak. Saya putuskan: berani! Sudah sekalian basah celana saya dan terlanjur masuk ke daerah terlarang. Terlanjur basah kata penyanyi dangdut Meggy Z.  “Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali. Di depan orang, kau tega memfitnah aku… “ Bah… jadi dangdutan.  

Beruntung kartu tanda penduduk (KTP) saya, masih tercantum sebagai mahasiswa. Belum diganti menjadi wartawan. Lalu bagaimana dengan kartu identitas wartawan Hankam/ABRI? Tanpa pikir panjang, saya keluarkan dari tas dan saya buang ke sungai. Saya pikir, toh nanti kalau sampai di Jakarta, bisa buat lagi. Hmmm… gampang kan?

Benar saja sekitar 500 meter dari rumah gubuk di atas pohon, saya lihat ada pos tentara Diraja Malaysia. Saya berpikir bagaimana caranya agar bisa masuk ke pos tentara tersebut. Ada akal. Saya justru harus cari gara-gara agar bisa masuk pos tersebut. Masuk tapi ditangkap untuk diinterogasi.

Dengan secepat kilat saya ambil kamera dan memfoto sasaran. Papan yang menunjukkan di situ pos tentara Malaysia, saya bidik, termasuk areal, dan truk tentara. Kemudian gulungan rol film, saya keluarkan dari tustel. Saya simpan disepatu boot. Lalu tustel, saya isi rol film baru yang belum digunakan. Langkah cepat itu saya lakukan di dalam tas, agar tidak terlihat mata tentara.

Mengaku turis

Benar saja saya dipanggil tentara yang berjaga. Ada dua orang menghampiri saya. Saya digiring masuk ke dalam pos tersebut. Di dalam saya bisa melihat apa saja yang ada di dalam pos itu. Ternyata pos diisi sekitar satu peleton tentara ranger Malaysia. Salah satu pasukan elite negeri serumpun.

Saya diinterogasi dengan pertanyaan macam-macam. Kemudian diminta identitasnya. Tas yang saya bawa digeledah. Hanya ada handuk kecil, air mineral, pulpen, buku kecil, dan biskuit. Karena diketahui saya telah mengambil gambar tanpa izin, maka kamera pun diminta dan isi kamera diambil. Saya sudah khawatir, jangan sampai sepatu boot saya harus dilepas. Karena rol film ada di situ. Lutut sudah gemetar. Pastilah wajah jadi pucat dan tangan seperti orang tremor.

Saya mengaku sebagai turis dari Jakarta yang tersesat dari rombongan. Ini ilmu ngibul. Tidak tahu daerah Tebedu, Serawak. Kartu tanda penduduk (KTP) saya pun lambangnya Monas, DKI Jakarta. Masih sebagai mahasiswa. Identitas wartawan tentu harus saya tutup. Bisa dibayangkan jika ketahuan, bisa panjang urusannya. Apalagi jika ketahuan rombongan TNI. Bisa dikira mata-mata yang menyusup wilayah jiran.

Akhirnya saya diperbolehkan keluar dari pos dan diminta kembali ke arah pulang. Isi rol film disita. Saya tersenyum senang, karena isi film belum saya gunakan sama sekali. Di tengah perjalanan, rol film yang sudah saya gunakan, saya keluarkan dari sepatu boot dan saya pasang kembali, sebelum menyeberangi sungai.

Waktu tahun itu, belum ada telepon genggam. Adanya radio panggil. Saya tinggal di penginapan, karena tidak ada gunanya saya bawa-bawa. Saya pun bisa kembali berkumpul dengan teman-teman di pos lintas batas. Saya tidak ceritakan apa pun kepada teman-teman rival liputan dari berbagai media nasional, baik cetak, radio maupun televisi.

Di dalam bus dalam perjalanan pulang, setengah berbisik, saya sedikit bercerita kepada Kolonel Bachtiar. Dia terkejut dan meminta agar liputan itu tidak ditulis saat ini. “Jika laporan itu kamu muat, karier saya dan Pak Yuswaji bisa tamat. Bahkan bisa mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia.”

Saya ceritakan bahwa kartu pers saya buang ke sungai untuk menutupi identitas. "Bagus, kamu tahu tahu apa yang harus dilakukan. Hebat bisa menyusup ke wilayah musuh," kata Bachtiar, alumni Akmil 1970. Dia pun tertawa sambal menepuk-nepuk pundak saya.

Investigative reporting ke pos peleton tentara Malaysia, saya simpan dalam memori. Menjaga nama baik Kolonel Bachtiar dan Laksma Yuswaji. Beberapa tahun kemudian usai reformasi, keduanya memperoleh kenaikan jabatan dan pangkat.

Yuswaji naik pangkat menjadi Laksamana Muda dengan jabatan asisten intelijen Mabes TNI. Kemudian Bachtiar naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal dengan jabatan komandan Satuan Intelijen Teknik Bais TNI.

Keduanya kini sudah pensiun. Saya tak ada beban lagi untuk menceritakan peristiwa yang sudah berusia sekitar 25 tahun. Semoga ada manfaatnya bagi wartawan muda. Menjadi wartawan harus punya keberanian mengambil risiko dan mencari liputan menarik.

Bukan sekadar wartawan copy paste. Tidak cukup dengan pikiran saja, namun perlu akal untuk menerobos nara sumber yang Anda targetkan. Tidak ada pelajarannya dalam teori di kelas. Ilmu itu ada di lapangan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement