REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Hubungan dua negara serumpun, Indonesia dan Malaysia kerap naik turun. Sentimen anti-Malaysia memuncak pada 2005. Hal ini diawali dari keputusan Mahkamah Internasional yang memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada akhir tahun 2002.
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dituding gagal mempertahankan Sipadan dan Ligitan. Dianggap terlalu lembek menghadapi Malaysia. Sehingga kalah dalam mahkamah internasional. Berbeda jauh dengan gaya bapaknya, Presiden Sukarno yang mengumandangkan 'ganyang' Malaysia dalam operasi Dwikora (dua komando rakyat) pada 1964.
Muncul opini politik, kekecewaan rakyat akan ditumpahkan pada pemilu 2004. Tidak akan memilih Megawati dalam pemilu presiden 2004. Ancaman itu dibuktikan dalam pemilu. Sebagai petahana, Megawati kalah dari rivalnya, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bekas menteri dalam kabinetnya.
Sebagai presiden, SBY pun akhirnya menghadapi tuntutan serupa. Ya, ketika hubungan Indonesia dengan Malaysia semakin memanas pada Maret 2005. Artinya, hanya sekitar enam bulan sejak dia dilantik menjadi presiden pada Oktober 2004.
Blok Ambalat
Kali ini, kasus yang muncul adalah isu blok Ambalat (ambang batas laut). SBY tidak ingin dicap lembek dan menerima dampak seperti Megawati. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI, ia memerintahkan pengiriman delapan kapal perang TNI Angkatan Laut. Kapal perang itu didukung empat pesawat tempur jet F-16. Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, menjadi pusat militer Indonesia untuk menghadapi situasi paling pahit melawan Malaysia.
Inilah bentuk tindakan preventif TNI setelah sebelumnya sejumlah kapal militer Malaysia berpatroli di dalam blok ini. Tindakan Tentera Laut Diraja Malaysia dipandang Indonesia sebagai tindakan arogan sepihak. Angkatan Darat Indonesia juga siaga tempur di perbatasan darat Indonesia dan Malaysia.
Di sisi lain, ancaman aksi demonstrasi anti-Malaysia meluas di sejumlah kota di Indonesia. Tentu saja termasuk di Jakarta. Saya kebetulan baru pulang dari Malaysia, Singapura, dan Thailand melalui Kota Medan, Sumatra Utara, pada awal 2005. Singgah lebih dahulu di Pulau Penang. Wilayah ini merupakan salah satu negara bagian Malaysia yang terletak di pantai barat laut semenanjung Malaysia.
Pulau Penang merupakan negara bagian terkecil Malaysia ke dua setelah Perlis. Secara geografis, pulau Penang sangat dekat dengan Thailand. Sebelum meninggalkan Penang menuju Thailand, dalam situasi pemberitaan hubungan kedua negara memanas, saya sengaja membawa sekitar lima bendera Merah Putih dari Medan.
Bendera itu saya bagikan ke warga negara Indonesia yang bekerja di Penang, baik di rumah sakit, fasilitas umum, dan tempat wisata. Pesan saya satu: “Jika situasi memanas, kamu bisa kibarkan bendera Merah Putih di Penang sebagai bentuk perlawanan.” Jangan coba-coba melawan Indonesia. Begitu kira-kira.
Saat situasi memanas di Jakarta, saya kebetulan dipanggil pulang ke Jakarta. Saya mengikuti rapat redaksi di Media Indonesia dan Metro TV. Di situ dapat informasi bahwa keesokan harinya akan ada demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota besar menentang Malaysia. Salah satu pusat demonstrasi akan dilakukan di Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia.
Seperti biasa akan ada tim liputan yang akan berangkat ke sejumlah titik demonstrasi di sejumlah kota di Indonesia. Termasuk liputan di depan Kedubes Malaysia di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Saya berinisiatif untuk ikut dalam liputan, namun di luar tim yang sudah ada.
Pengunjung perpustakaan
Saya berpikir, para wartawan pastilah akan fokus pada aksi demonstrasi di depan kedutaan. Saya justru memutuskan harus bisa masuk ke dalam gedung Kedubes Malaysia. Kali ini saya akan menjadi tamu perpustaakan Kedubes dan pura-pura mencari informasi untuk kuliah master di Malaysia.
Jadi, pagi hari saya sudah berada di depan kedubes bersama karyawan kedutaan yang akan masuk kantor. Saya izin hendak menjadi pengunjung perpustakaan sebagai calon mahasiswa pascasarjana di Malaysia. Alhamdulilah, saya berhasil masuk dan tidak ada yang curiga bahwa saya wartawan.
Sekitar dua jam saya di dalam perpustaakan, pikiran saya tentu tidak fokus pada buku-buku yang pura-pura saya baca. Saya menunggu aksi demonstrasi hingga akhirnya demonstran memenuhi pintu gerbang Kedubes Malaysia. Situasi di dalam kedutaan gaduh. Keluar pengumuman: semua pintu ditutup. Tidak boleh ada yang keluar masuk kedutaan.