Oleh : Agung Sasongko*
REPUBLIKA.CO.ID, Enam bulan terakhir bisa menjadi waktu tersibuk panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo 2021. Usai diputuskan ditunda pada tahun lalu, pelaksanaan Olimpiade Tokyo tahun ini masih diselimuti pertanyaan, apakah bisa gulirkan atau terpaksa dibatalkan?
Pasalnya, pandemi covid-19 belumlah mereda. Di Eropa angkanya kembali naik bahkan muncul temuan varian baru dari covid-19. Di Jepang dan belahan dunia lainnya juga sama. Kendati memang ada harapan dengan kehadiran vaksin. Namun, panggang jauh dari api, vaksin sifatnya jangka panjang.
Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato mengakui hal itu. Menurutnya, distribusi vaksin Covid-19 yang luas bukan menjadi prasyarat untuk melanjutkan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo pada musim panas 2021. Karenanya, panitia penyelenggara masih mencari cara pengelenggaraan olahraga multicabang secara aman.
Pada poin ini, harus diakui Jepang telah bekerja keras untuk itu. Seolah mengejar waktu, beragam mekanisme persiapan dilakukan guna membuat olimpiade berlangsung aman. Di dalam negeri, panitia penyelenggara harus menghadapi suara penolakan pelaksanaan olimpiade. Hal tersebut tercermin dari hasil survei yang dipublikasikan //Kyodo News awal bulan ini. Disebutkan, Olimpiade harus dijadwal ulang atau dibatalkan.
Hasil survey ini juga tak lepas dari kondisi penanganan covid-19 di Jepang. Pada 19 Januari, sekitar 155 pasien dengan gejala COVID-19 yang serius. Angka ini melebihi 150 pasien untuk pertama kalinya dan naik 12 orang dari hari sebelumnya.
Belum lagi pendapat dari luar Jepang yang menyatakan ada baiknya olimpiade dibatalkan saja. Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade London 2012, Keith Mills merupakan salah satu pihak yang berpendapat demikian.
Menurut dia, opsi dibatalkan telah dibuat namun panitia masih melihat perkembangan kasus covid hingga jelang pelaksanaan olimpiade. Sangat mungkin, bulan Februari atau Maret menjadi penentuan apakah Olimpiade dapat dilanjutkan atau ada opsi lain.
Kita bisa lihat kasus Australia Open sebagai pembanding. Di Australia Open, sekitar 1200 atlet, ofisial, dan pelatih ambil bagian dalam turnamen tersebut. Australia secara ketat memberlakukan protokol kesehatan seperti mewajibkan para atlet melakukan tes usap sebelum berangkat dan setibanya di Australia. Selanjutnya para atlet yang ambil bagian akan menjalani karantina 14 hari di sebuah hotel. Sejauh ini, seperti dilansir AP, sudah 10 petenis yang dinyatakan positif covid.
Ini menarik, jumlah atlet Australia Open dan Olimpiade Tokyo jelas berbeda. Perbedaanya bisa mencapai 10 kali lipat, yang artinya secara logika risikonya juga 10 kali lipat pula. Tentu, pelaksanaan Australia Open akan menjadi gambaran Tokyo untuk mempersiapkan kebijakan selama pelaksanaan olimpiade.
Pada akhirnya, putusan akhir adalah mempertimbangkan keselamatan atlet. Meski harus diakui, berapa besar dana yang digelontorkan Jepang guna mempersiapkan event ini. Berapa besar keuntungan yang menguap jika dibatalkan. Sementara, Jepang memiliki misi untuk menjadikan Olimpiade simbol kemenangan melawan virus corona.
Sudah ada lima edisi olimpiade yang dibatalkan yakni 1916, 1940, dan 1944 untuk musim panas dan 1940 dan 1944 untuk musim dingin. Saat itu, olimpiade dibatalkan karena alasan perang. Setelah itu, olimpiade menjadi ajang pembuktian kemajuan negara-negara pesertanya usai melalui krisis usai perang dunia.
Jepang salah satu negara yang hancur karena perang. Selanjutnya, dipilih untuk kali perdana menggelar olimpiade di Asia pada tahun 1964. Tak ada yang menyangka dengan pencapaian Jepang kala itu.
Bila ditarik garis lurus, budaya kerja keras dan pantang menyerah Negeri Matahari Terbit seolah menghalangi saya untuk mengatakan tidak mungkin Jepang bisa melaksanakannya. Namun, lagi-lagi keselamatan atlet, ofisial, dan masyarakat Jepang sendiri harus jadi pertimbangan utama.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id