REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi reaksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait isu intoleransi yang terjadi soal penggunaan hijab di Padang. Namun, P2G menilai, sebenarnya persoalan intoleransi di lingkungan sekolah bukanlah hal yang baru.
Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menyayangkan Mendikbud Nadiem Makarim hanya merespons kasus baru yang kebetulan sedang menjadi topik hangat. "Mas Menteri tidak mengakui secara terbuka, mengungkapkan ke publik jika fenomena intoleransi tersebut banyak dan sering terjadi di dalam persekolahan di Tanah Air," kata Iman dalam keterangannya, Senin (25/1).
Iman berpendapat, Kemendikbud belum membongkar persoalan intoleransi di lingkungan sekolah. Persoalan intoleransi yang umumnya terjadi di daerah ini sebenarnya mengandung problematika dari aspek regulasi, struktural, sistematik, dan birokratis.
"Kasus intoleransi di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan kami, misal, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Jauh sebelumnya, 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan, kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia," kata dia.
Menurut P2G, di antara faktor penyebab utamanya adalah Peraturan Daerah (Perda) yang bermuatan intoleransi. Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan yang sudah berjalan 15 tahun lebih sebagaimana keterangan mantan wali kota Padang Fauzi Bahar.