Oleh : Reiny Dwinanda*
REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang pergantian tahun, orang biasanya sudah siap dengan aneka resolusi yang ingin dicapai setahun ke depan. Tentunya, semua ingin ada kemajuan di bidang apa pun yang diidamkan.
Sayangnya, ada saja orang yang terjebak pada masa lalu. Mereka membawa banyak pemikiran negatif yang menghambatnya untuk melangkah maju. Negativitas itu ibarat bola besi yang menggelayut di kaki para tahanan zaman penjajahan, bikin orang jadi tak merdeka.
Bisa jadi, jebakan masa lalu pula yang melatari kasus rasisme Ketua Relawan Pro Jokowi Amin (Projamin) Ambroncius Nababan terhadap tokoh Papua, Natalius Pigai. Pasalnya, dalam unggahan di Facebook itu, Ambroncius menulis, "Mohon maaf yg sebesar-besarnya. Vaksin sinovac itu dibuat utk MANUSIA bukan utk GORILLA apalagi KADAL GURUN. Karena menurut UU Gorilla dan kadal gurun tidak perlu di Vaksin. Faham?”
Natalius sebelumnya memberikan komentar terkait sikap pemerintah yang mewajibkan warga negara Indonesia untuk divaksin. Menurutnya, pemerintah tidak boleh memaksa jika ada warga negara yang menolak untuk divaksin karena itu adalah Hak Asasi Manusia.
Selain ungkapan rasismenya, ada istilah "kadal gurun" yang dipakai Ambroncius. Istilah yang dilekatkan sebagian pendukung Jokowi terhadap pendukung kubu penantang dalam Pilpres 2019 itu herannya tak hilang-hilang. Padahal, ini sudah 2021. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga sudah satu komando di bawah kepemimpinan Jokowi-Maruf Amin. Basi sudah persaingan itu.
Baca juga : Ambroncius Ditahan, Ketum AMPB: Pemerintah tak Pandang Bulu
Sekarang, soal komentar rasismenya.
Dari sudut manapun, itu tak bisa dibenarkan. Segemas apa pun, sepanas apa pun saat berbeda pendapat, argumentasi harus dijaga tetap di koridornya. Masak nyerang fisik, masak rasis? Contoh apa yang hendak ditunjukkannya kepada masyarakat? Dengan jabatannya di organisasi relawan dan Partai Hanura, Ambroncius harusnya bisa menjadi teladan yang mencerminkan semangat persatuan, seperti yang ditunjukkan sosok yang didukungnya berikut partai yang diikutinya. Masyarakat tentu boleh memberi penilaian tersendiri terhadap perangainya. Kini, setelah dia menjadi tersangka, majelis hakim yang kelak akan menentukan nasibnya di mata hukum.
Jadi teladan
Sejatinya, masyarakat membutuhkan teladan. Biasanya, tokoh publik yang bisa menjadi contoh, jadi panutan.
Keteladanan itu pula yang tampaknya tergerus dari sosok Ketua DPD PDIP Bali sekaligus Gubernur Bali I Wayan Koster yang malah membela diri dari kecaman setelah menyuapi dua petinggi partai dengan sendok yang sama saat potong tumpeng HUT partai dan ulang tahun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Sabtu (23/1) di kantor DPD PDIP Bali di Kota Denpasar. Dia juga bertigaan meniup lilin kue ulang tahun.
Pesan yang ditangkap masyarakat bisa menjadi keliru jika Koster mempertahankan dalihnya bahwa itu tindakan spontan dan protokol kesehatan tak ada yang dilanggar. Memakai sendok yang sama saja sudah menjadi contoh terburuk untuk pencegahan penularan penyakit, apalagi ini sedang pandemi. Herannya, yang disuapi juga menurut saja buka masker dan mangap untuk menerima potongan tumpeng. Ngeri-ngeri sedap ya?!
Inisiatif dari Wali Kota Denpasar....