REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Sebuah studi terbaru menemukan bahwa batuk, sakit tenggorokan, dan kelelahan lebih sering terjadi pada orang yang terinfeksi varian baru dari virus corona jenis baru (COVID-19).
Namun, dalam varian baru COVID-19 tersebut, ditemukan bahwa kehilangan kemampuan indera perasa atau penciuman jarang terjadi. Varian baru diyakini sangat mudah menular dan pertama kali muncul di Inggris pada tahun lalu.
Sebuah survei oleh Kantor Statistik National Inggris (ONS) menemukan bahwa orang yang positif dengan varian baru COVID-19 cenderung mengalami gejala berupa batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, dan nyeri otot. Pergeseran pada gejala mungkin didorong oleh varian yang lebih menular dan menyebar lebih cepat di tubuh dibanding varian lama.
Meski demikian, dampak keseluruhan dari banyak mutasi pada varian baru COVID-19 belum diketahui. ONS bertanya kepada orang-orang yang terinfeksi mengenai gejala santara 15 November 2020 hingga 16 Januari lalu.
Dilansir The Guardian, varian baru COVID-19, yang dinamakan sebagai B117 pertana kali terdeteksi di Kent pada September 2020. Sejak itu, varian ini menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah Inggris dan berbagai negara di dunia.
Para ilmuwan di New and Emerging Respiratory Virus Threats Advisory Group (Nervtag), Pemerintah Inggris menyimpulkan pekan lalu bahwa varian baru dapat meningkatkan tingkat kematian akibat COVID-19. Sebanyak 30 persen hingga 40 persen, meski beberapa ahli mengatakan masih terlalu dini untuk menilai apakah lebih tinggi mematikan.
Alasan meningkatnya kematian tidak jelas tetapi mungkin terkait dengan mutasi, disebut sebagai N501Y, yang memungkinkan virus menginfeksi sel dengan lebih mudah. Hal ini membuatnya sekitar 50 persen hingga 70 persen lebih mudah menular.
Kehilangan rasa dan hilangnya bau secara signifikan lebih jarang terjadi pada varian baru yang kompatibel positif dibandingkan pada varian yang lebih lama, survei ONS menyatakan.
“Sedangkan gejala lain lebih umum pada varian baru yang kompatibel positif. Tidak ada bukti perbedaan gejala gastrointestinal, sesak napas atau sakit kepala,” ujar Lawrence Young, seorang profesor onkologi molekuler di University of Warwick.