Oleh : Dwi Murdaningsih*
REPUBLIKA.CO.ID, Dunia masih berperang dengan pandemi Covid-19. Hingga Ahad (31/1) jumlah kasus di seluruh dunia mencapai 103 juta dengan 569 juta orang telah sembuh. Di Indonesia, jumlah kasus telah mencapai 1,07 juta terkonfirmasi dengan 863 ribu kasus telah dinyatakan sembuh.
Perang melawan pandemi Covid-19 mungkin masih butuh waktu beberapa bulan atau bahkan tahun, sembari menunggu produksi dan distribusi vaksin di seluruh dunia. Namun, pada pekan lalu, beredar informasi mengenai kemunculan virus Nipah (Niv) yang memicu kekhawatiran. Astagfirullah, penyakit apa lagi ini? Jangan sampai pandemi datang silih berganti mengintai kita.
Jayasree K. Iyer, direktur eksekutif Access to Medicine Foundation, lembaga nirlaba yang berbasis di Belanda, menyoroti wabah virus Nipah yang terjadi di China dengan tingkat kematian hingga 75 persen berpotensi menjadi risiko pandemi besar berikutnya.
Kalau asal-usul virus corona masih dalam proses investigasi, kelelawar buah dituding menjadi inang alami dari virus Nipah. Perusakan habitat kelelawar ditengarai menjadi penyebab penyebaran infeksi virus Nipah di masa lalu.
Virus ini juga dapat menginfeksi berbagai macam hewan, membuat kemungkinan penyebarannya lebih mungkin terjadi. Penularan virus ini juga bisa melalui kontak langsung atau dengan mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Bangladesh dan India merupakan dua negara yang pernah mengalami wabah virus Nipah di masa lalu yang kemungkinan penyebabnya terkait dengan konsumsi jus kurma. Pada malam hari kelelawar yang terinfeksi akan terbang ke perkebunan kurma dan mengambil sari buahnya saat keluar dari pohon.
Kelelawar kemungkinan buang air kecil di pot penampung. Virus Nipah dapat menyebabkan masalah pernapasan yang parah dan ensefalitis, pembengkakan otak.
**
Pada Juni 2020 lalu Program lingkungan PBB UNEP memperingatkan, wabah semacam Covid-19 bisa semakin sering melanda. Inger Andersen, direktur eksekutif program lingkungan PBB (UNEP), mengatakan, jika manusia terus mengeksploitasi dunia binatang dan merusak ekosistem, memungkinkan akan semakin banyak penyakit yang ditularkan binatang kepada manusia di tahun-tahun mendatang.
Andersen menambahkan, sekitar 60 persen penyakit infeksi pada manusia yang saat ini dikenal sebagian besar adalah penyakit zoonosis. Sebagian besar akibat meningkatnya interaksi antara manusia, binatang, dan lingkungan.
Apa yang dikatakan Andersen diamili oleh Delia Randolph, pakar epidemiologi veteriner dari International Livestock Research Institute (ILRI). Dia mengatakan, ilmuwan yang melakukan riset penyakit hewan tidak kaget dengan prediksi itu.
“Sejak tahun 1930-an terdapat tren yang jelas, menyangkut terus meningkatnya penyakit pada manusia. Dan sekitar 75 persen dari penyakit itu berasal dari binatang liar,“ ujar Randolph.
Lalu, apakah kekelawar atau binatang liar adalah musuh manusia? Tentu tidak. Tuhan menciptakan kelelawar pasti juga ada maksudnya.
Kelelawar memainkan peran besar dalam ekosistem dengan mengendalikan populasi serangga. Menurut penelitian, dalam satu jam, kelelawar berukuran normal dapat memakan hingga 500 hingga 1.000 nyamuk.
Keberadaan kelelawar membantu manusia menghemat pestisida yang mana nyamuk juga berpotensi membawa penyakit seperti virus Zika, demam berdarah, atau malaria. Kebiasaan kelelawar memakan serangga juga menghemat banyak uang untuk pertanian.
Kotoran kotoran kelelawar pemakan buah, terutama yang ada di hutan hujan, menebarkan benih, membantu regenerasi tanaman dan pohon yang sebelumnya rusak atau ditebang.
Dari bermacam-macam riset mengenai penyakit zoonosis yang sudah dilakukan oleh para penelitu-peneliti terdahulu, ada satu garis besar yang bisa diambil. Garis besarnya adalah soal keseimbangan ekosistem. Jika manusia terus menerus mengganggu ekosistem satwa liar, bukan tidak mungkin pandemi akan sering terjadi.
Gambarannya begini. Mungkin, pada awalnya, manusia memiliki kekebalan dan virus. Alhasil, virus atau mikroba memilih hidup di mahluk hidup lain, seperti kelelawar atau satwa liar lainnya. Namun, karena ekosistem satwa liar terganggu (karena ulah manusia seperti pembukaan lahan atau perusakan hutan), satwa liar akan berinteraksi dengan manusia dan timbullah penyakit zoonosis atau penularan penyait dari hewan.
Jika hutan semakin menyusut dan satwa liar semakin terganggu, interaksi manusia dn satwa liar meningkat, bukan tidak mungkin pandemi akan lebih sering terjadi.
Kita tentu belajar bagaimana pandemi ini memorakporandakan ekonomi. Entah sudah berapa triliun uang yang digelontorkan untuk mengatasi pandemi mulai dari anggaran pelacakan, pengobatan, bantuan korban terdampak, hingga vaksin. Korban berjatuhan karena pandemi juga sudah banyak sekali.
Kita seharusnya kita bisa belajar bahwa lebih menjaga alam adalah salah satu cara kita untuk tetap hidup berkelanjutan. Mencegah pandemi di masa depan mungkin bisa kita mulai dengan lebih bijak menjaga alam mulai dari sekarang.
Saatnya pemerintah menindak lebih tegas tentang perdagangan atau penyelundupan satwa liar. Biarkanlah satwa liar itu tinggal di habitatnya sebagaimana mestinya. Jika ikhtiar ini dilaksanakan, semoga saja di masa depan tak ada pandemi lagi.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id