REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar, wartawan Republika.
Masyarakat Indonesia di masa lalu lebih dulu bersentuhan dengan mode/busana dari kalangan Muslim daripada dari kalangan Kristen. Sarung, misalnya, didapat dari Muslim Yaman di abad ke-14 jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara.
Kain ini dianggap bisa menutup aurat laki-laki sesuai syar'i --yang bersumber dari kata syar'un. Ketika Belanda datang di akhir abad ke-16, kompetisi mode, kata Kees van Dijk, kemudian melibatkan tiga pihak: Pribumi, Timur Tengah/Muslim, Eropa/Kristen.
VOC saat itu hanya memperbolehkan penganut Kristen --di daerah-daerah yang dikendalikan VOC-- yang bisa memakai pakaian gaya Eropa. "Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki, dan sepatu," tulis van Dijk di buku Outward Appearances, mengutip De Haan dari Oud Batavia.
VOC melarang orang-orang Indonesia non-Kristiani mengenakan pakaian seperti orang Eropa. Orang-orang Indonesia hanya boleh mengenakan pakaian etnis masing-masing.
Maka, perselisihan pun muncul ketika makin kuat keinginan dari sebagian orang-orang Indonesia untuk bisa mengenakan pakaian Eropa itu. Mengenakan pakaian Eropa bisa menghindari pengawasan dari VOC.
Di akhir abad ke-19 orang Eropa dan Indo banyak menyerap unsur budaya lokal dan melahirkan kultur Indisch, sebagai hibrida antara budaya Eropa (Belanda) dan berbagai budaya lokal Indonesia. Kebaya dengan potongan khas dan warna putih sering dikenakan oleh perempuan Eropa. Corak batik juga memiliki kekhasan motif tersendiri. Foto diambil 1888, koleksi Tropenmuseum Amsterdam. - (DOK Wikipedia)
Saat itu pribumi yang tinggal di Batavia dibuatkan kawasan khusus berdasar daerah asal. Etnis yang satu tak boleh mengenakan pakaian dari etnis lain.
Dengan kawasan dan pakaian tertentu, membuat VOC mudah mengawasi mereka. Namun, kemudian banyak yang memilih meninggalkan kawasan tempat tinggal itu dan kemudian berbaur dan mengenakan pakaian etnis dari mana saja.
Orang-orang Cina juga diperlakukan sama. Tak boleh mengenakan pakaian Eropa, melainkan harus memakai pakaian etnis mereka tak boleh mengenakan pakaian etnis orang-orang Indonesia. Hanya budak-budak bebas dari Afrika (kaum mardijker) yang di abad ke-17 tercatat boleh mengenakan pakaian mengikuti mode Eropa: celana selutut dan topi.
Di akhir abad ke-19, orang-orang Cina sudah ada yang mulai memotong kuncir lalu mengenakan pakaian Eropa. Demikian pula para bangsawan pribumi semakin banyak yang mengenakan pakaian Eropa.
Amangkurat II yang menjadi raja atas bantuan VOC, sudah bisa mengenakan pakaian Eropa di abad ke-17. Dengan pakaian Eropa itu, ketika melakukan perjalanan, dilihat dari kejauhan Amangkurat II sering diduga sebagai Sang Gubernur Jenderal dalam perjalanan mengelilingi Jawa.