Oleh : Elba Damhuri*
REPUBLIKA.CO.ID, Pasar Muamalah Depok menjadi berita besar. Penyebabnya, transaksi jual beli di pasar yang digagas aktivis dinar-dirham Zaim Saidi itu dianggap ilegal.
Pasar pedagang dan pembeli tidak mengunakan rupiah sebagai alat pembayaran, seperti yang diamanatkan UU Mata Uang. Zaim Saidi kini ditahan kepolisian sementara pro kontra penggunaan dinar-dirham sebagai alat bayar masih terus bergulir.
Dilihat dari sejarahnya, penggunaan emas dan perak sebagai alat transaksi tukar seperti uang sudah dilakukan sejak zaman sebelum Islam datang. Umur penggunaan emas dan perak sebagai mata uang ini sama tuanya dengan umur peradaban manusia.
Bangsa Lydia pada periode 570-546 SM telah menggunakan emas dan perak sebagai alat transaksi. Bangsa Yahudi dan Yunani kemudian mengikuti jejak bangsa Lydia.
Di zaman Rasulullah SAW, usai menanamkan nilai-nilai ketauhidan, ekonomi mulai menjadi garapan serius. Ada lembaga pengelola keuangan yang disebut baitulmal.
Uang dinar emas dan dirham perak dipakai sebagai alat tukar yang bersifat spot (transaksi di tempat berdasarkan nilai yang berbeda). Nabi Muhammad SAW memerintahkan penggunaan dinar dan dirham ini yang saat itu masih dalam bentuk butiran (tibr), belum koin.
Nabi SAW mengatur dirham Islam pada 14 karat untuk membedakan pengukuran dirham Persia yang memiliki tiga bobot: 20 karat, 12 karat, dan 10 karat. Jadi, memang sejarah manusia tidak lepas dari penggunaan emas dan perak sebagai alat tukar yang masih dilakukan hingga saat ini.
Kasus Pasar Muamalah Depok memang unik dan bikin kaget. Dalam wawancara dengan Republika pada 2016 silam, Zaim Saidi menyatakan, penggunaan logam dinar dan dirham di Indonesia tidak melanggar peraturan Bank Indonesia. Alasan pertama, dinar dan dirham bukan merupakan uang kertas seperti mata uang lainnya.
Dalam UU Mata Uang, kata Zaim, tidak diperbolehkannya penggunaan mata uang lain, seperti dolar dan yen, sedangkan dinar-dirham masuk ke dalam kategori perhiasan. Kedua, karena dinar dan dirham adalah perhiasan (aset). Zaim menyatakan, prinsip transaksinya pun bukan jual beli dalam bentuk mata uang, melainkan barter berdasarkan kesepakatan.
Bagi Zaim Saidi, barter jelas tidak melanggar kesepakatan. Ia memberi komparasi seperti penggunaan koin di beberapa lokasi permainan anak.
Beda Zaim Saidi, beda Bank Indonesia. BI mengacu pada UU Mata Uang tentang penggunaan mata uang rupiah di Indonesia.
Sejak UU No 7 Tahun 2011 tentang UU Mata Uang diberlakukan, Bank Indonesia (BI) cukup gencar melakukan edukasi, sosialisasi, hingga penindakan bersama Kepolisian Indonesia (Polri) terhadap mereka yang melanggar. Pelanggaran yang disasar, terutama terkait dengan penggunaan mata uang bukan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI).
Pada Pasal 23 B UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang disebutkan rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di NKRI.
Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah. Jika tidak, ancaman pidana datang. Peringatan keras yang disampaikan BI wajar mengingat penggunaan mata uang asing di beberapa wilayah di Indonesia memang ada.
Sejak UU Mata Uang berlaku, razia dilakukan untuk memastikan semua pihak memakai rupiah. Beberapa wilayah yang menjadi sasaran adalah Bali, Batam, Jakarta, Bintan, dan Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Juga, di Miangas, Sulawesi Utara, yang berbatasan langsung dengan Filipina. Warga setempat terbiasa menggunakan peso jika tak memiliki rupiah.
Mengapa rupiah harus menjadi mata uang wajib yang dipakai pada setiap transaksi, BI menegaskan terkait kedaulatan, alasan ekonomi, hingga stabilitas sistem keuangan nasional.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, menyebut, sanksi bagi pihak yang tidak menggunakan rupiah. Bab X Pasal 33 poin 1a UU Mata Uang menuliskan bahwa setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dapat dikenakan pidana. Pidana tersebut, antara lain, berupa kurungan penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Dalam kasus Pasar Muamalah, misalnya, kepolisian sebaiknya memberikan edukasi dan penjelasan terlebih dahulu sebelum membawa kasus ini ke ranah hukum. Bisa jadi, ada perbedaan persepsi antara otoritas dan pelaku Pasar Muamalah soal transaksi dengan mata uang dan barter.
Uang Palsu dan Uang Mainan
Selain wajib penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia, UU Mata Uang juga bicara larangan dan sanksi hukum bagi pelaku pembuat dan pengedar uang palsu.
Pada Pasal 26 UU disebutkan, (ayat 1) setiap orang dilarang memalsukan rupiah. Pada ayat 2, setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan rupiah palsu.
Ayat 3, setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah yang diketahuinya merupakan rupiah palsu.
Pada Pasal 37 UU Mata Uang menyebut sanksi atas pelaku uang palsu. Pada ayat 1 disebutka bahwa setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pada ayat 2, setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Belum lagi, ada jeratan pasal 244 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau 245 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (untuk mata uang asing), dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Yang menarik, uang mainan atau uang tiruan pun jika disalahgunakan masuk dalam kategori pelanggaran hukum.
Dalam UU Mata Uang juga disebut soal uang tiruan atau rupiah tiruan. Di masyarakat, selain rupiah asli, rupiah palsu, beredar juga rupiah tiruan termasuk yang dijadikan uang mainan.
Pengertian uang tiruan ini berbeda dengan uang palsu, namun secara tegas dilarang jika digunakan sebagai alat transaksi.
Berdasarkan UU Mata Uang, rupiah tiruan adalah yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara. Sementara, rupiah palsu adalah uang tiruan yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran yang melawan hukum.
Pada ayat pertama Pasal 24 Undang-Undang Mata Uang disebutkan bahwa setiap orang dilarang meniru rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau promosi dengan memberi kata spesimen. Kemudian, di ayat selanjutnya, setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan rupiah tiruan.
Dengan aturan hukum ini, uang mainan pun jika dipakai untuk transaksi dan merugikan pihak lain, tidak diperbolehkan. Ancaman hukumannya pun cukup berat, bisa dipenjara sampai 15 tahun.
Sebagai penutup, tren penggunaan aset digital seperti mata uang kripto juga makin marak di Indonesia. Penggunaan dinar-dirham sudah mengawali terlebih dahulu. Belum lagi akan muncul tren-tren lainnya.
Edukasi dan sosialiasi lebih intens menjadi kata kunci untuk menjelaskan kepada publik arti penting penggunaan rupiah sebagai alat transaksi.
Di sini peran Bank Indonesia sebagai otoritas uang di Tanah Air harus lebih deras lagi untuk mendatangi kelompok-kelompok masyarakat yang dirasakan masih awam soal mata uang ini.
*) Penulis adalah kepala republika.co.id