Jumat 05 Feb 2021 05:02 WIB

Hari Berduka Cinta (Cerpen)

Menikahlah dengan pria yang sangat mencintai ibunya.

Senja berduka cinta.
Foto: Karta Raharja Ucu/Republika
Senja berduka cinta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu*

Sebuah papan nama tergantung di pintu satu ruangan rumah sakit umum daerah Yogyakarta. Di sana tertulis nama dr. Zainab Azalia, SpKK.

Seorang pemuda berusia 28 tahun sembari menggandeng ibunya dengan sungkan mengetuk pintu ruangan itu. Sang dokter dari dalam ruangan mempersilakan masuk.

Abdul, nama pria tersebut. Ia masuk merangkul pundak ibunya yang bernama Sarah ke dalam ruangan dokter spesialis kulit. Sarah sudah sepekan menggaruk-garuk tangan dan area wajahnya, termasuk ketika datang ke ruangan Dokter Zainab. Saking keras menggaruk, kulit Sarah mengalami luka.

Dokter Zainab mempersilakan Abdul dan ibunya duduk. Dokter perempuan berkacamata bulat dan jilbab lebar itu memperhatikan gerak-gerik Sarah, yang terlihat lain dari orang biasa.

"Maaf, ini dengan Ibu Sarah?" Dokter Zainab melayangkan pertanyaan setelah sebelumnya melihat nama daftar pasien di buku catatannya. Namun Sarah, perempuan yang sore itu memakai gamis panjang dan jilbab biru tidak merespon. Ia sedang sibuk memerhatikan sekeliling ruangan.

"Kamu bohong, Dul. Katanya kamu mau bawa ibu umroh. Katanya kamu mau bawa ibu ke Mekkah, lihat Kakbah. Katanya kamu mau bawa ibu ziarah ke makam Rasulullah. Kenapa ibu dibawa ke sini," teriak Sarah tiba-tiba. Tangan kanan dan kirinya memukul-mukul Abdul.

Kepala, lengan, paha, dada Abdul menjadi sasaran. Namun, dia hanya bisa diam sembari sesekali menghalau tangan ibunya yang hendak mengacak-acak meja dokter. Tiba-tiba lengan Abdul digigit ibunya. Abdul hanya bisa meringis menahan sakit. Ia sudah bertahun-tahun mendapatkan gigitan dari ibunya. Tubuhnya seolah menjadi kebal dan hatinya menjadi kian sabar.

"Ibu, ibu.. iya habis dari sini kita umroh ya," kata Abdul sembari menahan sakit dan mengelus tangan ibunya. Ia rapikan kembali jilbab ibunya yang miring.

Ibunya sesaat diam. "Janji kamu ya. Jangan bohongi ibu lagi". Kemudian Sarah tak lagi bicara.

Dokter Zainab mematung di tempat duduknya. Ia tak banyak komentar, tapi ada banyak pertanyaan yang siap tumpah ruah dilontarkan kepada Abdul.

Abdul bisa membaca wajah Dokter Zainab yang kebingungan melihat tingkah ibunya. "Maaf dokter. Jiwa ibu saya sedikit lain dengan orang kebanyakan."

Dokter Zainab kikuk. Dia tak bisa menguasai keadaan melihat seorang laki-laki muda, dengan sangat sabar merawat ibunya.

"Maaf, Mas..."

"Abdul Dok, Abdullah Sutrisno. Panggil saja saya Dul."

"Baik Mas Abdul. Maaf sebelumnya, kulit wajah ibu kenapa?" Dokter Zainab tak enak hati jika langsung bertanya tentang keadaan Sarah. Ia mencoba fokus bertanya tentang alasan Abdul membawa ibunya berobat ke dokter spesialis kulit.

Namun, justru Abdul yang menerangkan keadaan jiwa ibunya. "Beliau bukan tidak waras, dok, bukan ODGJ. Tapi kejiwaan beliau sedikit terganggu. Ibu cenderung ke arah pengidap skizofrenia. Jika sedang kambuh, ibu selalu berteriak, tapi ibu tidak menggangu orang lain. Hanya saya selama ini yang jadi sasaran kemarahan ibu."

Dokter Zainab diam. Seakan mendapatkan lampu hijau, dia memberanikan diri bertanya. Kali ini bukan tentang ruam-ruam di wajah Sarah, tapi soal kejiwaannya. "Ibu sejak kapan begini, Mas?"

"Kejiwaan ibu terganggu saat jatuh dari motor ketika pulang sekolah madrasah, Dok. Kepalanya terbentur hebat. Beruntung nyawa ibu selamat, tapi kejiwaan ibu sempat sekarat."

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement