Ir Euis Komariah, MT (Penyuluh KB Ahli Madya BKKBN Jawa Barat)
REPUBLIKA.CO.ID, Terhambatnya proses tumbuh kembang anak secara normal (stunting) merupakan salah satu permasalahan yang masih dihadapi Indonesia. Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) terjadi penurunan stunting dari 30,8 persen tahun 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.
Meski menurun, angka ini masih dinilai tinggi, mengingat toleransi WHO untuk stunting 20 persen. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19, yang menyebabkan kemiskinan meningkat karena banyak PHK. Karena itu, terjadi peningkatan pengangguran, akibatnya daya beli masyarakat khususnya pangan menurun.
Pemerintah menargetkan angka stunting di Indonesia turun mendekati angka 14 persen pada 2024. Untuk mencapai target tersebut setiap tahun harus tercapai penurunan angka stunting sebesar 2,7 persen.
Menurut UNICEF, tanpa tindakan memadai dan tepat waktu, jumlah anak kurang gizi (wasting) di Indonesia diprediksi meningkat sebanyak 15 persen (7 juta) di seluruh dunia pada tahun pertama pandemi Covid-19. Setiap satu persen penurunan produk domestik bruto (GDP) global, meningkatkan jumlah anak stunting sebanyak 0,7 juta di seluruh dunia.
Wasting ini sangat umum terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam, dan pandemi dimana pasokan makanan dan layanan kesehatan terganggu. Penanganan kasus wasting perlu menjadi prioritas karena berpeluang tiga kali lebih tinggi membuat anak mengalami kegagalan pertumbuhan tubuh dan otak (stunting).
Masalah stunting penting untuk diselesaikan, karena berhubungan dengan tingkat kesehatan, bahkan kematian anak. Stunting adalah kondisi yang ditandai ketika panjang/tinggi badan anak kurang dibandingkan umur. Atau kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga tubuhnya lebih pendek dibanding anak seusianya.
Permasalahan stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru akan terlihat ketika anak sudah usia dua tahun. Stunting berdampak buruk bagi pertumbuhan anak, dan berpengaruh pada kualitas manusia di masa depan. Anak yang terkena stunting dapat terhambat perkembangan otaknya. Setelah ia dewasa, kecerdasan dan performa edukasinya menjadi tidak optimal, juga bisa mengakibatkan risiko penyakit metabolik. Gangguan tumbuh kembang akibat stunting bersifat menetap, tidak dapat diatasi. Namun bisa dicegah, terutama pada saat 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Stunting selain dipengaruhi kesehatan reproduksi, juga disebabkan pola asah, asih dan asuh dari orang tua, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih kurangnya akses keluarga terhadap makanan bergizi, kurangnya akses pada air bersih dan sanitasi.
Stunting merupakan masalah bersama, maka harus dihadapi secara bersama pula oleh seluruh elemen bangsa. Kolaborasi pemerintah dengan non-pemerintah diperlukan untuk memastikan upaya mengatasi stunting berjalan efektif dan membuahkan hasil yang optimal.
Dengan diberikannya mandat dari Presiden pada tanggal 25 Januari 2021 kepada BKKBN sebagai penanggung jawab percepatan penurunan Stunting di Indonesia, maka landasan hukum pelaksanaannya akan mengacu pada Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Penurunan stunting basisnya dalam upaya membangun keluarga, sehingga pembangunan keluarga tidak hanya sebatas pembatasan atau penjarangan angka kelahiran, tetapi merupakan pembangunan yang integral, salah satunya adalah penurunan angka stunting.
Keluarga sebagai basis pembentukan kepribadian seorang anak memiliki fungsi dan peran yang menentukan keberlangsungan hidup keluarga. Keluarga memiliki delapan fungsi utama, yaitu: fungsi Agama, cinta kasih, reproduksi, perlindungan, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan fungsi pembinaan lingkungan.
Peran BKKBN sangat strategis dalam pembangunan Nasional. Hal ini terkait dengan penyiapan kualitas dan kuantitas SDM, karena bersinggungan langsung dengan keluarga, sehingga menjadi poin penting dalam mengedukasi masyarakat akan penyebab, dampak dan bahayanya stunting melalui KIE (Komunikasi, Edukasi dan Informasi). BKKBN dan jajarannya akan lebih fokus menggarap penanggulangan stunting, terutama mendampingi remaja dan keluarga.
Petugas KB dan mitra kerja (Kader KB yang berada di tingkat Desa/Kelurahan, RW dan RT) memastikan kehamilan benar-benar direncanakan, sehingga akan lahir anak yang sehat. Sekitar 30-35 persen kasus stunting pada anak dilahirkan oleh wanita yang menikah di usia muda. Melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) dan Poktan Bina Keluarga Remaja (BKR), para remaja wanita dianjurkan menikah usia minimal 21 tahun dan 25 tahun bagi pria.
Penyebab stunting lainnya adalah jarak kelahiran. Dari penelitian, ada korelasi kuat antara jarak kelahiran dan stunting. Menjaga jarak kelahiran minimal tiga tahun antar satu anak dengan anak berikutnya adalah solusi terbaik. Para ibu juga harus memperhatikan 1000 HPK , yaitu suatu periode kehidupan bayi sejak dalam kandungan hingga dua tahun menyusui.