REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Bambang Widjojanto mengatakan ada tiga ujian Mahkamah Konstitusi saat mengadili sengketa pilkada. Ketiganya mendorong harapan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan perkara berbasis pada asas materiil dan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.
“Ujian pertama, apakah MK akan memeriksa hal-hal yang sifatnya material, tidak sekedar formal. Karena proses itu yg akan mempengaruhi hasil, maka MK bisa menguji semua dalil-dalil, alat bukti, argument yang dijadikan dasar oleh pemohon terjadinya kecurangan,” ujar praktisi hukum yang juga mantan wakil ketua KPK itu
dalam diskusi “Polemik Gugatan Sengketa Pilkada,” Selasa, (9/2).
Ujian pertama ini terkait sejauh mana MK melihat ambang batas selisih suara dalam pasal 158 UU Pilkada, bukan hanya sekedar hasil tapi memeriksa prosesnya sedetil mungkin. Pasal ini juga terkait sejauh mana proses pemilukada bukan hanya luber dan jurdil, tetapi juga memenuhi prinsip prinsip demokrasi. Kemudian bagaimana kinerja lembaga penyelenggara pemilu dan pengawasan pemilu sudah berjalan optimal.
Ia mencontohkan bagaimana MK perlu melihat satu proses yang diduga melanggar aturan Pemilukada. Hal itu itu adalah kebijakan mutasi yang dilakukukan petahana di Kalimantan Tengah yang dalam pasal 71 ayat 3 dalam UU Pilkada, gubernur dan kepala daerah lainnya tidak boleh melakukannya dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon Pilkada.
”Dalam UU tersebut mutasi harus memiliki harus ada izin tertulis dari menteri, ketika mendapat izin dari menteri, kalau sulit sekali mendapatkan akses untuk itu, bahkan harusnya komite ASN dilibatkan karena beberapa hal tertentu terkendala, artinya ada persoalan fundamental selain angka,” ujarnya.
Bambang menambahkan, dalam persoalan diatas, Mahkamah harus memberi ruang yang cukup untuk memanggil dan menanyakan alasan Kementerian tidak memberikan akses terkait informasi mutasi tersebut. Termasuk alasan kementerian tidak melibatkan Komisi ASN sebagai saksi kebenaran rekomendasi dalam mutasi tersebut.
“Ujian kedua adalah seberapa banyak saksi dan ahli bisa diakomodasi, karena ini speedy trial, sejauh mana itu bisa diberi ruang untuk pembuktian permohonan dan jawaban dari termohon,” ujar Bambang.
Bambang mengutip pasal 28 h ayat 2 UUD 45 yakni setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Karena itu, publik akan melihat MK akan mewujudkan the guardian of constitution.
“Ketiga adalah sejauh mana MK membuka ruang untuk mengakomodasi bila ada konflik of interest penyelenggaran pemilu yang itu hanya bisa diuji di MK, Karena diproses sebelumnya itu sangat rumit sekali,” ujarnya.
Ia mencontohkan Orient P Riwu yang tersandung masalah kewarnegaraan pasca terpilih menjadi bupati Sabu Raiju. Bambang menilai hal itu menunjukan sehebat apapun proses, maka terbuka peluang penyelenggara pemilu melakukan kecolongan. “Kalau kasus itu dibawa ke MK itu akan menunjukan sejauh mana MK menguji persoalan fundamental tersebut,” ujarnya.
Terakhir bambang berharap persidangan pemeriksaan kedepan MK nantinya menguji semua dalil dalil yang dijadikan dasar pemohonan adanya kecurangan. Ia meminta MK tidak hanya sekedar memutuskan sengketa Pilkada berdasarkan angka sesuai pasal 158 UU pemilu.
Pasal 158 UU Pemilukada sendiri pernah digugat 5 tahun lalu oleh calon gubernur DKI dari jalur independen, Ramdansyah. Ia mengugat pasal itu karena melihat potensi pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan massif akan dikalahkan oleh masalah teknis ambang batas. Hasil dari gugatan itu ditolak, namun sejak saat itu MK mengembalikan marwah keadilan subtansial dengan tidak memutus perkara sengketa pemilukada diawal permohonan karena tidak memenuhi syarat ambang batas.
“Saya melihat peraturan MK no 6 tahun 2020 sejalan dengan permintaan saya waktu uji materi,” ujarnya.