REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dito Anurogo (Mahasiswa S3 di IPCTRM TMU Taiwan)
TAIPEI -- Vaksinasi Covid-19 yang saat ini tengah gencar dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia rentan menimbulkan problematika baru, terutama ditinjau dari aspek kehalalan. Mayoritas ulama berdasarkan kaidah fikih telah bersepakat bahwa bila tidak ada vaksin lain yang tersedia dan penyakitnya memiliki efek serius bagi kesehatan, maka vaksin yang tersedia dapat dipertimbangkan.
Di era modern, vaksinasi telah diproses dengan teknologi canggih yang berbasis imunologi dan biologi molekuler. Umumnya vaksin ini melibatkan berbagai komponen, meliputi antigen, adjuvant, preservatives, stabilizers, surfactants, residuals, dan diluent.
"Komponen stabilizers inilah yang umumnya mengandung porcine gelatine (gelatin dari babi-Red). Hal ini menimbulkan problematika baru, terutama bagi masyarakat Islam," kata Dosen Kedokteran UGM, Bayu Satria Wiratama, pada Kajian Rutin Indonesian Muslim Student Association (IMSA) Taipei Medical University (TMU) bertema "Vaksin dalam Perspektif Islam", Jumat (5/2) lalu.
Bayu memaparkan di dunia Islam, sebenarnya imunisasi telah dimulai sejak zaman kekaisaran Ottoman, yakni sekitar tahun 1700-an. Saat itu, kematian akibat smallpox mencapai angka tiga ribu per sejuta penduduk atau sekitar tiga per seribu penduduk. Sementara pada zaman kerajaan Utsmaniyah masih di tahun 1700-an, lanjut Bayu, suatu teknik inokulasi smallpox yang disebut variolation dikenal luas hingga ke wilayah India dan China.
Adapun proses pembuatan vaksin memiliki tiga pendekatan. Pertama, menggunakan virus atau bakteri secara keseluruhan. Kedua, menggunakan bagian atau komponen dari virus atau bakteri yang memicu sistem imun. Ketiga, hanya menggunakan material genetika. Pendekatan keseluruhan mikroorganisme juga dapat digunakan, sehingga menghasilkan produk berupa vaksin inaktivasi, vaksin live-attenuated, dan vaksin vektor virus.
Baca juga : Ini Temuan WHO Soal Kebocoran Lab di Wuhan
Bayu melanjutkan, beberapa jenis vaksin untuk Covid-19 telah beredar. Pertama, vaksin Sinovac, dengan platform inactivated, dengan efikasi 65 persen, telah memasuki fase 3 dengan dua dosis. Kedua, vaksin dari Pfizer-BioNTech dengan platform m-RNA dengan efikasi 95 persen, telah memasuki fase 3, diberikan dua dosis. Ketiga, vaksin dari Moderna, dengan platform m-RNA, dengan efikasi 94,5 persen, telah memasuki fase 3, diberikan dua dosis. Keempat, Sputnik-V, dengan platform viral vector, dengan efikasi 91,5 persen, memasuki fase 3, diberikan dua dosis. Kelima, vaksin dari Astrazenecca-Oxford, dengan platform viral vector, memiliki efikasi 82 persen, telah memasuki fase 3, diberikan dua dosis.
Kajian ilmiah yang berlangsung selama dua jam bertempat di ruang 2305 Instructional/Teaching Building TMU ini berlangsung menarik. Beberapa peserta terlibat dalam diskusi interaktif.