REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Pangeran Khairul Saleh menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir keputusan KPU Bandar Lampung tentang pembatalan pasangan nomor urut 3, Eva Dwianadan Deddy Amarullah. Padahal keputusan KPU Bandar Lampung itu, dinilainya sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.
"Bawaslu Bandar Lampung sudah yakin adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh paslon 03,” kata Khairul Saleh dalam siaran persnya. Sebelumnya, KPU Bandar Lampung mengeluarkan SK No. 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung Hj. Eva Dwiana, SE dan Drs. Deddy Amarullah.
Dijelaskannya, fakta yang terungkap di persidangan Bawaslu Lampung, telah terbukti dan meyakinkan bahwa pasangan no 03 ini telah dibantu oleh Wali Kota Lampung, yang merupakan suami dari Eva Dwiana, karena telah mengarahkan dana bantuan Covid-19. Wali kota dan jajarannya telah membagikan bansos Covid-19 berupa beras 5 Kg didanai APBD Kota Bandar Lampung kepada seluruh warga masyarakat secara merata. Dalam paket yang dibagikan tersebut, kata Khairul Saleh, juga disertai pesan-pesan khusus untuk memilih pasangan calon nomor urut 03. Ini jelas merugikan calon pasangan lain.
Disinyalir juga, lanjut Khairul Saleh, terjadi pengerahan ASN dari mulai camat, lurah, RT dan Linmas di 11 kecamatan se-Kota Bandar Lampung, dan pembagian uang kepada kader PKK menjelang hari pemilihan untuk memilih pasangan no 03. Berikutnya juga ASN merangkap sebagai KPPS, pemecatan RT dan Linmas dan penghentian bantuan beras bagi warga yang menolak memilih Paslon Nomor Urut 03. "Ini kan memprihatinkan,” kata Legislator Dapil Kalsel ini.
Namun, Khairul Saleh menghormati seluruh upaya hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait selama masih dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk upaya paslon 03 yang melakukan kasasi ke MA, sehingga MA mengeluarkan putusan yang menganulir keputusan KPU.
Khairul Saleh menilai bahwa peraturan MA tersebut perlu ditinjau kembali. Dalam hal ini adalah Pasal 24 Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan,"Putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali."
Ketentuan ini, menurut Khairul Saleh, bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni misalnya, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa (1) "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang." (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Dipaparkannya, jika dikatakan Perma No. 11 Tahun 2016 itu pengecualian dalam arti lex specialis, memang dalam kamus hukum terdapat asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Namun, yang perlu ditekankan salah satu prinsip lex specialis ini adalah ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis. Artinya, undang-undang harus dengan undang-undang. Dengan demikian, tidak boleh ada peraturan turunan yang melanggar ketentuan undang-undang.
"Perma MA No 11 Tahun 2016 ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum,” kata Khairul Saleh.