Jumat 12 Feb 2021 15:57 WIB

Ketua MA Jadi Guru Besar Tidak Tetap Ilmu Hukum Pidana Undip

Pengukuhan dilaksanakan di Gedung Prof Sudharto, kompleks Kampus Undip, Tembalang.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
 Ketua Mahkamah Agung (MA), Prof Dr H Muhammad Syarifuddin SH MH menyampaikan pidato ilmiahnya, pada acara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Undip, yang dilaksanakan di gedung Prof Sudharto, kompleks Kampus Undip, Tembalang, Kota Semarang, Kamis (11/2).
Foto: dok. Humas Undip
Ketua Mahkamah Agung (MA), Prof Dr H Muhammad Syarifuddin SH MH menyampaikan pidato ilmiahnya, pada acara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Undip, yang dilaksanakan di gedung Prof Sudharto, kompleks Kampus Undip, Tembalang, Kota Semarang, Kamis (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof H Muhammad Syarifuddin SH MH dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, yang ke-4. Prosesi pengukuhan Syarifuddin dilakukan berdasasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia No. 6462/MPK/KP/2021 Tanggal 29 Januari 2021.

Pengukuhan Muhammad Syarifuddin sebagai Guru Besar Tidak Tetap bidang Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Undip, dilaksanakan di Gedung Prof Sudharto, kompleks Kampus Undip, Tembalang, Kota Semarang, Kamis (11/2). Rektor Undip, Prof Yos Johan Utama dalam sambutannya mengungkapkan, Syarifuddin dinilai telah banyak mengembangkan pemikiran dan langkah-langkah progresif dan inovatif.

Hal itu merupakan terobosan kreatif (creative breakthrough) yang mencerminkan sikap tanggap, keberanian, sekaligus menunjukkan kapasitas dan kompetensinya yang luar biasa, sebagai seorang praktisi maupun teoritisi.

Khususnya di tengah gugatan tiadanya rasa keadilan dan kepastian hukum dalam pemidanaan terhadap koruptor, lemahnya putusan pengadilan yang dinilai sangat rendah dan dianggap ‘memanjakan’ dan cenderung berpihak kepada koruptor hingga tidak memberikan efek jera.

Di sisi lain, cara pelaksanaan pidana (starmodus) yang telah memberikan kebebasan yang tidak terbatas kepada hakim, berakibat munculnya ekses negatif  berupa ‘permainan’ dan ‘perdagangan’ putusan yang memunculkan rasa ketidakadilan, tiadanya kepastian hukum, hingga memunculkan disparitas pidana.

Selain itu juga terbuka untuk menerima kritik dan melakukan otokritik untuk menunjukkan komitmennya dalam membangun konstruksi peradilan yang bersih. “Atas realitas tersebut, Muhammad Syarifuddin –sebagai Ketua MA-- telah melakukan langkah-langkah kebijakan yang bersifat progresif, responsif, dan evaluatif,” jelasnya.

Berkaitan dengan peradilan tindak pidana korupsi, lanjut rektor, Syarifuddin juga telah menginisiasi keluarnya Pedoman Pemidanaan terhadap penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yang kerugikan keuangan negara.

Langkah tersebut diambil melalui penerbitan Peraturan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut merupakan langkah progresif, dalam rangka memberikan pedoman pemidanaan yang proporsional, akuntabel, rasional, dan mengedepankan semangat berkeadilan.

Langkah tersebut juga menjadi yudicial correction terhadap kebijakan formulasi yang dilakukan lembaga Yudikatif, yang secara objektif rasional terkesan melindungi dan berpihak kepada pelaku tindak pidana korupsi para pemegang jabatan publik, dengan pengancaman pidana yang lebih ringan terhadap pelanggaran pasal 3 UU Tipikor.

Pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pasal yang memuat aturan pemidanaan untuk perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Rumusan formulasi kedua pasal tersebut hampir mirip, hanya berbeda pada sasaran subjeknya dan ancaman pidananya.

Namun aturan pemidanaan terhadap kedua pasal ini ternyata memunculkan disparitas pemidanaan. Oleh karena itu calon mengambil sikap perlu dibuatnya pedoman yang harus diikuti oleh para hakim dalam mengadili berbagai perkara tindak pidana korupsi berdasar pasal 2 dan pasal 3 tersebut.

Sehingga di dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dibuatlah suatu pengategorian nilai kerugian keuangan negara, menjadi kategori Paling Berat, Berat, Sedang, dan Ringan.

Dengan adanya kategori tersebut diharapkan hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi, pasal 2 dan pasal 3 memiliki kesamaan ukuran, sehingga mampu mengurangi kemungkinan munculnya disparitas pemidanaan.

“Meskipun demikian, pembatasan yang dilakukan di dalam Perma tersebut, sama sekali tidak mengurangi kemerdekaan hakim dalam menjatuhkan putusan yang berorientasi pada keadilan,” tegas rektor Undip.

Kompetensi luar biasa yang kedua dari Muhammad Syarifuddin, masih jelas Yos Johan, adalah kebijakannya yang sangat visioner bagi lembaga MA, yaitu dengan mengembangkan virtual court dalam perkara pidana.

Penerapan sistem virtual court untuk perkara pidana diwujudkan dengan penerbitan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik.

Langkah ini diambil dalam rangka mewujudkan Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010- 2035, yang diantaranya bertujuan untuk mewujudkan peradilan modern berbasis teknologi informasi.

Menurut rektor, bukanlah langkah mudah melakukan pembaruan proses persidangan pidana dari konvensional ke virtual. Karena tidak hanya berdimensi praktis, akan tetapi juga dimensi yuridis (berkaitan kepastian dan kekuatan pembuktian) dan perlindungan HAM.

Sehingga diperlukan adanya dasar hukum dan pedoman dalam penyelenggaraannya. Selain sebagai payung hukum (dasar legalitas) dan pedoman pelaksanaan proses peradilan secara virtual, penerbitan Perma Nomor 4 Tahun 2020 ini juga merupakan respons cepat yang dikeluarkan dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Pelaksanaan persidangan secara virtual meminimalisir kontak antar pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan perkara pidana. Dengan demikian diharapkan dapat memutus, membatasi, dan menghindarkan penyebaran Covid-19 dalam proses peradilan, khususnya peradilan pidana.

Selain kedua kompetensi luar biasa tersebut, sepanjang karirnya di MA, Syarifuddin juga memiliki keterlibatan dalam pengembangan berbagai sistem aplikasi peradilan yang menunjang misi Pembaruan Peradilan Modern di Indonesia.

Seperti pengembangan aplikasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT TI), pengembangan sistem peradilan elektronik bagi perkara perdata, perkara agama, dan perkara tata usaha negara (TUN).

“Termasuk pengembangan Sistem Informasi Perlengkapan Mahkamah Agung Republik Indonesia (SIPERMARI) dan pengembangan aplikasi Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS),” ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement