Selasa 16 Feb 2021 05:33 WIB

Isu Revisi UU Pemilu Seharusnya Bukan Cuma Soal Anies

Revisi UU Pemilu mestinya jadi upaya perbaikan Pemilu 2019 yang menyisakan masalah.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

'Kau yang mulai, kau yang mengakhiri...'. Sepenggal lirik lagu dangdut populer itu menjadi pas dengan polah Komisi II DPR belakangan ini terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum. Komisi II DPR berinisiatif merevisi UU Pemilu namun, akhirnya mereka juga yang menyetop pembahasan di tengah jalan.

Awalnya, tercatat fraksi-fraksi yang awalnya mendukung revisi UU Pemilu adalah PKS, Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Adapun, partai lainnya yang merupakan pendukung pemerintah seperti PDIP, PKB, PPP dan PAN menolak UU Pemilu direvisi.

Belakangan, Partai Golkar dan Partai Nasdem akhirnya berbalik arah menolak revisi UU Pemilu. Dua partai yang memiliki wakil di kabinet pemerintahan Jokowi ini memutuskan untuk mundur dari pembahasan RUU Pemilu menjelang DPR memutuskan RUU apa saja yang akan dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.

RUU Pemilu sejatinya adalah upaya menyatukan menyatukan UU No. 10/2016 tentang Pilkada dan UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Lantaran UU Pilkada juga akan direvisi, salah satu isu panas pun muncul terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dalam UU 10/2016 telah diputuskan digelar pada 2024.

Lewat RUU Pemilu, DPR berupaya mengubah jadwal pilkada serentak pada 2024 menjadi dua bagian yakni pada 2022 dan 2023. Merujuk pada RUU Pemilu versi 26 November 2020 setebal 363 halaman, pelaksanaan pilkada dalam pasal 731 dan 734.

Pasal 731 Ayat (2) menyebutkan bahwa, “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.

Selanjutnya, pada Ayat (3,) “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023”.

Dalam Pasal 734 Ayat (1) disebutkan bahwa, “pemilu daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali”.

Sepanjang belum ada revisi, pelaksanaan pilkada pada 2024 tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016  (UU Pilkada). Dalam UU Pilkada Pasal 201 Ayat (8) mengatur soal pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Ada beberapa isu krusial yang sempat diangkat oleh media terkait revisi UU Pemilu di DPR. Isu-isu itu antara lain soal dihapusnya hak politik anggota eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), syarat pendidikan minimal calon presiden (capres), hingga soal peluang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk kembali mencalonkan diri sebagai gubernur dan proyeksi menjadi capres pada 2024.

Untuk isu yang terakhir disebut di atas memang menjadi yang paling ‘seksi’ dengan premis, bahwa pengusung revisi UU Pemilu adalah pendukung Anies, sementara penolak revisi adalah pihak yang tidak ingin Anies kembali mencalonkan menjadi gubernur DKI pada 2022. Harus diakui, isu Anies ini menjadi yang kemudian mendominasi debat atau diskursus politik terkait revisi UU Pemilu.

Secara kalkulasi politik, Anies bisa dibilang memang yang akan paling dirugikan jika UU Pemilu tidak direvisi dan pilkada serentak tetap digelar pada 2024. Masa jabatan Anies sebagai gubernur DKI Jakarta yang habis pada 2022 kemudian akan membuat Anies ‘menganggur’ atau ‘keluar panggung’ karena jabatan gubernur DKI akan digantikan oleh Plt hingga Pilkada 2024.

Berbeda jika UU Pemilu jadi direvisi dan Pilkada DKI Jakarta digelar pada 2022, peluang Anies sebagai petahana yang kembali menjabat gubernur DKI Jakarta terhitung besar. Anies pun waktu setahun lebih di panggung pemerintahan sambil menunggu waktu pendaftaran capres pada Oktober 2013 yang pilpresnya digelar pada 2024.

Disayangkan

Sebagian kalangan menyayangkan upaya merevisi UU Pemilu kali ini dilokalisir pada isu kepentingan politik Anies Baswedan dan pengusungnya. Perludem misalnya, mengingatkan bagaimana pelaksanaan Pemilu 2019 menyisakan kompleksitas masalah yang perlu segera dievaluasi oleh para pemangku kepentingan.

Jika UU Pemilu tidak direvisi, Perludem mengkhawatirkan negara ini gagal belajar dari pengalaman. Tragedi kematian lebih dari 900 petugas KPPS akibat pemilu serentak pada 2019 mestinya menjadi salah satu pelajaran penting.

Ada banyak pengaturan dalam UU Pemilu yang memerlukan perbaikan agar pelaksanaan pemilu menjadi lebih mudah, sederhana, dan berkualitas. Contohnya, antara lain teknis penghitungan suara yang sangat membebani petugas KPPS. Bukan tidak mungkin persoalan banyaknya petugas KPPS yang kelelahan bahkan berujung pada kematian akan kembali terulang pada 2024 jika tidak ada perubahan dari UU Pemilu.

Perludem pun pernah menguji UU Pemilu ke Mahkamah Konsitusi (MK), namun ditolak. Meski MK menolak permohonan Perludem, dalam amar putusannya, MK menawarkan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Model pertama pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD, kemudian populer dengan istilah Pemilu 5 Kotak (Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota). Kedua, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.

Ketiga, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota. Keempat, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Pelaksanaan pemilu serentak ini setelah beberapa waktu pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

Kelima, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.

Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

Namun masalahnya, enam model keserentakan pemilu yang ditawarkan MK itu pastinya bukanlah hal yang mudah dalam tatanan praktis. Jika pemilu serentak pada tahun 2024, penyelenggara pemilu (dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum) perlu memperhatikan penahapan pilkada, pemilu anggota legislatif, dan pemilu presiden/wakil presiden.

Belakangan, KPU pun bersuara soal pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada serentak nasional 2024. Berkaca pada Pemilu 2019, Pemilu 2024 dinilai KPU akan menjadi beban kerja yang sangat berat bagi penyelenggara pemilihan. Penyelenggara pemilihan akan melaksanakan tujuh jenis pemilihan pada tahun yang sama, yakni pilpres, pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan gubernur, serta pemilihan bupati/wali kota.

"Desain (pemilu serentak) tersebut mengundang sejumlah problematika," ujar anggota KPU Hasyim Asy’ari.

*penulis adalah jurnalis Republika.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement