REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Kosim, Dosen UIN Imam Bonjol Padang dan Anggota Dewan Pendidikan Sumatra Barat
SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah menuai polemik di tengah masyarakat. Ada yang mengira, kehadiran SKB ini menguntungkan umat Islam di daerah minoritas karena siswa dan guru perempuan tidak boleh dilarang mengenakan jilbab.
Namun, jika dibaca lebih teliti, itu hanya menguntungkan bagi siswa dari keluarga Muslim yang taat, sementara para guru di sekolah tidak bisa berperan aktif mengingat larangan dan ancaman dalam SKB ini. Setidaknya ada tiga persoalan mendasar dalam SKB ini.
Pertama, membebaskan peserta didik menggunakan pakaian tanpa atau dengan kekhasan agama tertentu. Jika "pakaian seragam atau atribut kekhasan agama tertentu" itu berupa serban, peci, kalung berlafaz Allah, atau model penutup kepala, tentu tidak bermasalah.
Bebaskan saja, memakai atau tidak. Namun, jika menyangkut pakaian menutup aurat, pasti menjadi masalah besar. Menutup aurat itu bukan pilihan, lalu menyerahkannya ke siswa di sekolah untuk memakai atau membuka auratnya.
Menutup aurat adalah kewajiban setiap umat Islam (QS al-A'raf ayat 26, an-Nur ayat 31, dan al-Ahzab ayat 59).
Dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adil latuhu, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan, sudah menjadi ijma ulama bahwa "menutup aurat bagi wanita hukumnya adalah wajib dalam semua keadaan, baik sewaktu shalat maupun tidak".
Baca juga : Tolak SKB 3 Menteri, Wali Kota Pariaman Ditegur Kemendagri
Guru PAI di tingkat SMP dan SMA/SMK juga mengajarkan materi pergaulan bebas dan pakaian menutup aurat. Materi yang diajarkan juga menegaskan, aurat perempuan itu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Seperti sabda Nabi SAW, "Wahai Asma, perempuan apabila telah sampai umur haid (umur baligh), tidak boleh dilihat padanya kecuali ini dan ini. Baginda Rasulullah menunjukkan muka dan kedua telapak tangannya." (Abu Daud dari Aisyah).
Jika menutup aurat merupakan kewajiban umat Islam, pakaian menutup aurat perempuan seperti jilbab (terlepas bagaimana model yang dikenakan) tidak bisa dijadikan sebagai pilihan. Mereka mesti dididik menaatinya.
Membiarkan anak bebas memilih pakaian menutup atau membuka aurat, sama halnya membiarkan anak bebas memilih taat atau mengingkari ajaran agamanya. Kedua, larangan pemerintah daerah dan sekolah mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, bahkan mengimbau pakaian dan atribut kekhasan agama tertentu.