REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveller dan Penulis Buku.
“Tidaklah semua yang populer itu orang besar, dan tidak semua yang besar itu orang populer,” kalimat yang disampaikan Buya Hamka itu dikutip dari tulisan Jurji Zaydan, sastrawan Mesir kelahiran Beirut.
Kalimat itu terbukti pada diri Buya. Sebuah polling dilakukan Sumatera Barat Intelectual Society (SIS) dalam rangka peringatan satu abad Buya Hamka. Hasilnya sungguh mengejutkan, hanya 22% responden yang mengetahui karya-karya Buya, selebihnya 78% tidak mengetahuinya.
Saya tidak terlalu heran sebenarnya membaca hasil polling itu. Sewaktu berkunjung ke Museum Buya Hamka yang berada di kampung halamannya, Maninjau, saya kesulitan menemukan lokasinya. Berulang bertanya pada penduduk setempat dan kesasar bolak-balik karena tidak ada yang tahu di mana persisnya.
Kalau sekadar lokasi museum yang merupakan bekas rumah gadang keluarganya pun tak banyak yang tahu, apatah lagi buah pikirnya?
Bahkan Buya Hanif Sutan Mansyur, putra bungsu Buya AR Sutan Masyur yang bertanggung jawab atas museum itu pun pada awalnya menduga saya datang dari Malaysia. Pengunjung dari Malaysia jauh lebih banyak, menurutnya.
Keprihatinan itu sudah lama saya rasakan. Buya adalah tokoh besar. Kalau sekadar nama, mungkin generasi milenial masih tahu. Tapi siapa dia dan apa prestasinya, saya yakin akan lebih banyak yang menggelengkan kepala karena tak tahu.
Padahal nama Buya pernah menggetarkan dunia Islam saat menyampaikan orasinya di depan Muktamar Islamy dan As Syubbanul Muslimun.
Makalah berjudul “Pengaruh Faham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya” mendapat applause yang sangat meriah dan mengantarkannya memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, yang prestisius.
Menariknya, kesuksesan Buya ini tidak ditempuh melalui bangku akademis, melainkan secara otodidak, seperti yang disampaikan Musfi Yendra dalam buku “Mengenang 100 Tahun Hamka”. Ini menjadi luar biasa, karena sekalipun tanpa background akademis, tapi dari tangannya lah lahir sekolah-sekolah Al Azhar yang tersebar di seluruh Indonesia.
Setidaknya ada 4 hal yang dilakukan Buya, yakni ibyda’ binnafsih, kemauan kuat untuk mempelajari tokoh-tokoh besar. Intelektualitasnya terasah melalui kegemarannya membaca, berdiskusi dan menulis, serta hungannya dengan Allah yang selalu terjaga.
Virus sekularisme yang kini tak terbendung lagi, menjadi keresahan Buya sejak lama. Ia menyoroti hal itu terjadi melalui bangku pendidikan. Itu pula yang menjadi salah satu alasannya menginisiasi pendirian Yayasan Pendidikan Al Azhar.
Ada upaya-upaya untuk “menetralkan” agama dengan menyasar generasi muda Muslim. Menunjukkan jati diri sebagai seorang Muslim itu adalah sesuatu yang “terbelakang”, barangkali kalau sekarang dilabel intoleran.
Setelah berhasil, berikutnya mereka menjadi tidak peduli dengan agamanya. Ghirah (kecemburuan) pada agama hilang, mereka tak lagi peduli agamanya diolok-olok dan dinistakan. Dan puncaknya adalah pemikiran bahwa agama itu tidak perlu.
Sesuatu yang disampaikan Buya sekian puluh tahun lalu terasa masih sangat relevan hari ini. Apalagi ketika dunia pendidikan dipegang oleh orang-orang yang tidak mengerti pendidikan.
Hari ini, 17 Februari, 113 tahun yang lalu, Sang Pembaharu Allah hadirkan ke bumi. Melalui ujung penanya, Buya memantik lentera dan menjadi suluh bagi gelapnya dunia. Semoga setiap kata yang dituliskan menjadi penerang kuburnya.
Jakarta, 17/2/2021