REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Jakarta, Batavia, Jayakarta, Jacatra, Sunda Kelapa, Kalapa. Entah apa lagi nama-namanya. Ternyata sejak abad ke 15, kota ini sudah menjadi langganan banjir.
Dua hingga tiga hari hujan terus-menerus, dijamin banjir. Debit air Sungai Ciliwung dan beberapa kali kecil lainnya, bakal meluber tak terbendung. Belum lagi kiriman air dari dataran tinggi di Bogor dan Depok.
Bukti sejak masa prasejarah itu tertulis dalam prasasti Tugu di kawasan Jakarta Utara pada 1878. Kini tersimpan dalam Museum Sejarah Jakarta.
Di situ juga sudah diingatkan, Jakarta Utara bukan untuk pemukiman penduduk. Sebaiknya permukiman penduduk di Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Plus Depok dan Bekasi, serta Tangerang.
Gubernur jenderal gagal
Sejarah mencatat. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen menyerang Kerajaan Banten dan menghancurkan Jayakarta pada 1619. Coen membangun Batavia di tengah banjir. Ia kemudian membangun kota yang posisinya rendah.
Belanda merasa bisa, karena dikenal sebagai negeri dam (bendungan). Berbagai upaya dilakukan dengan membangun berbagai dam, kanal dan sodetan. Batavia tetap saja banjir.
Baca juga : Banjir Jakarta, Aa Gym Sindir Anies? Cek Faktanya
Tercatat ada 66 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia. Namun, tidak ada yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini.
Ah, gile aje nih. Pegimane encang, encing, nyak, babe, abang, empok? Ampe 66 gubernur Belande kagak sanggup. Pegimane?
Barulah di era modern. Seorang penulis Amerika Serikat di kantor penerangan di Jakarta, berani menyalahkan pendiri Batavia JP Coen. Mengapa dia memaksakan mendirikan kota di atas rawa-rawa?
Kalau saja Gubernur Coen bijaksana dan memilih tempat yang lebih tinggi, mungkin ceritanya akan berbeda. Setidaknya bencana banjir dapat dikurangi dan tidak memusingkan para penggantinya.
Termasuk sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro. Gubernur Sumarno, Henk Ngantung, Ali Sadikin, Tjokropranolo, R Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Surjadi Soedirja, Sutiyoso, Fauzi Bowo, Jokowi, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), Djarot Saiful Hidayat, sampai Gubernur Anies Rasyid Baswedan.
Tidak bisa dihindari
Gubernur legendaris almarhum Ali Sadikin berujar, "Tempat-tempat yang dulunya tempat bangkong (kodok), sekarang dihuni oleh orang. Tentu saja akibatnya mereka yang di sana menjadi korban banjir," ujar Ali dalam buku kenangannya.
Ali menegaskan, banjir (Jakarta) tidak bisa dihindari sampai kapan pun. Siapa pun gubernurnya. Selama Jakarta tidak membangun saluran drainase yang sempurna. Bahkan dua per tiga wilayah Jakarta akan berpotensi kebanjiran. Sebab tinggi datarannya hanya satu sampai tujuh meter di atas permukaan laut. Itu pun dengan catatan jumlah penduduknya harus dikendalikan.
Baca juga : Anies Ingatkan Jakbar Masih Rawan Banjir Luapan Angke
Bang Ali adalah gubernur DKI yang paling kejam. Kerap mengancam akan menempeleng kontraktor yang tidak beres. Tetapi Jakarta ternyata lebih kejam. Selama 11 tahun memimpin Jakarta diakuinya belum berhasil mengatasi banjir.
Pada awal 2002, saya tidak bisa pulang ke rumah. Terpaksa menginap di kantor, Media Grup. Era itu hujan terus-menerus selama enam hari. Lebih dari 350 RW atau sepanjang sekitar 170 km persegi digenangi air. Bahkan banjir hingga tiga meter. Menelan korban jiwa 36 orang.
Apakah saya menyalahkan Gubernur Jakarta, Sutiyoso? Tidak sesederhana itu. Banyak sekali penyebab Jakarta menjadi langganan banjir. Tidak hanya karena pemerintahannya saja. Sebagian besar masyarakat juga turut andil di dalamnya.
Kemudian, banjir terparah di Jakarta pada Februari 2007. Luas area terdampak banjir mencapai 455 km persegi. Ini sekitar 70 persen wilayah Ibu Kota. Bencana hidrologi tersebut mencatat korban jiwa 48 orang tewas. Sekitar 277 ribu warga Jakarta harus mengungsi.
Kekhawatiran Ali Sadikin bahwa dua per tiga wilayah Jakarta akan kebanjiran sudah terbukti pada 2007 lalu.
Solidaritas
Kota Jakarta saat ini menghadapi hujan terus-menerus. Sehingga berpotensi banjir. Pastilah ada suara-suara menggema di media sosial. Setidaknya dapat digolongkan menjadi enam: doa, prihatin, kritik, nyinyir, fitnah, dan kebencian.
Kalau mendoakan dan prihatin, bisa saya pahami. Begitu juga kritik. Silakan saja kritik. Misalnya dari sisi politik perkotaan, dan kebijakan publik. Tentu ini lebih bijaksana. Solutif.
Apa sih program Pemprov DKI Jakarta periode 2017-2022 untuk atasi banjir?
Dari catatan, ada empat upaya pengendalian banjir dan abrasi. 1) Pembangunan tanggul laut dan muara sungai, 2) Pembangunan waduk atau naturalisasi dan normalisasi sungai, 3) Perbaikan tata kelola air, 4) Pembangunan integrated tunnel atau multipurpose tunnel.
Saya menghargai upaya-upaya itu. Termasuk upaya yang dilakukan gubernur-gubernur sebelumnya. Bukan mencela apalagi mengejek para gubernur yang pernah memimpin Jakarta. Tidak mau sok lebih pintar daripada mereka.
Saya memilih berdoa agar banjir atau genangan segera surut. Mendoakan korban banjir kali ini segera mendapatkan pertolongan.
Saya menjadi bagian yang mendukung siapa pun yang menjadi gubernur DKI Jakarta. Tentu saja untuk mengatasi masalah banjir yang merupakan 'dosa kutukan' terhadap kota tercinta ini. Tempat kita mengais rejeki untuk keluarga.
Diri pribadi mungkin hanya memikirkan keluarga dan kerabat terdekat. Tetapi menjadi gubernur, walikota, kepala kecamatan, dan kepala kelurahan mesti memikirkan warganya.
Seniman Betawi Bang Ben (Benyamin Sueb) pada 1973 sudah menciptakan lagu soal Jakarta kebanjiran. Almarhum mengingatkan, warga jangan menggerutu saja. Tapi harus saling menolong dan kerja bakti.
"Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk. Rumeh ane kebakaran, gare-gare kompor mleduk. Ane jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet. Rumah ane kebanjiran, gara-gara got mampet..." Gotong royong.
Salam solidaritas. Saya tidak menerima komentar caci maki, nyinyir, fitnah, dan kebencian.