REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Langkah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan sejumlah pemohon perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah yang diajukan para pasangan calon (Paslon) dan pemantau pemilihan dinilai tepat.
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim, selaku kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan banyak analis yang mengabaikan acuan pasal 158 ayat 1 dan 2 saat megajukan gugatan perselisisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan tak jarang yang menganggap bahwa pasal tersebut sudah dihapuskan.
Dia mengatakan, selama mendapatkan mandat menangani 11 perkara Pilkada, dia memiliki argumentasi soal batas maksimal selisih suara sebagai syarat mengajukan gugatan PHP di MK.
Selaku kuasa hukum KPUD yang berhasil memenangkan 10 perkara dalam dismiss, Hifdzil menggunakan Pasal 158 sebagai acuan utama argumentasi hukum.
Hifdzil menjelaskan, berdasarkan putusan MK dalam PHP Pilkada, Pasal 158 tetap diterapkan secara kasuistis. "Artinya, Pasal 158 tetap urgent didalilkan," ujar Hifdzil, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (24/2).
Dia menerangkan, Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada, untuk Pemilihan Gubernur menyebutkan provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa perbedaan suara hasil pemilu 2 persen dari suara sah.
Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-sampai 6 juta selisih suara 1,5 persen dari suara sah, provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta selisih suara 1 persen dari suara sah dan penduduk dengan jumlah di atas 12 juta selisih suara dari total suara sah sebesar 0,5 persen.
Sedangkan dalam ayat 2, Kabupaten/kota dengan penduduk hingga 250 ribu jiwa, syarat selisih suara 2 persen dari jumlah suara sah, dan kabupaten/kota dengan jumlah 250 ribu sampai 500 ribu selisih suara 1,5 persen dari total suara sah.
Sementara kabupaten/kota dengan jumlah 50 ribu-1 juta penduduk selisih 1 persen dari total suara sah, dan penduduk di atas satu juta harus memiliki selisih suara 0,5 persen dari total suara sah.
Dengan argumentasi hukum itu, MK kemudian menolak gugatan PHP yang diajukan pemohon. Dia menilai sikap MK sudah tepat menolak gugatan yang diajukan pemohon karena Pasal 158 masih diberlakukan.
"Pasal 158 (UU 10/2016) penting untuk dijadikan argumentasi hukum dalam meminta MK menolak segala permohonan sengketa Pilkada," ujar dia.
Dari penolakan 100 PHP Pilkada ini, Hifdzil mengatakan KPUD di berbagai daerah sudah menjalankan pesta demokrasi sesuai dengan tata aturan kepemiluan yang berlaku.
Dengan demikian, MK dengan alasan hukum akhirnya menilai bahwa Pilkada telah berjalan konstitusional. "Banyaknya gugatan yang tertolak menjadi indikator KPU mulai pusat hingga daerah sudah bekerja maksimal. Sehingga ratusan gugatan yang diajukan akhirnya ditolak,” kata dia.
Hifdzil dan kantornya HICON sendiri menangani 11 perkara dan menjadi kuasa hukum 10 KPUD yaitu KPU Bulukumba, KPU Luwu Utara, KPU Rembang, KPU Barru, KPU Luwu Timur, KPU Mamuju, KPU Tapanuli Selatan, KPU Kutai Kartanegara, KPU Kotabaru, dan KPU Raja Ampat.
Dia menjelaskan dari 11 perkara yang ditangani HICON, 10 perkara diputuskan dimenangkan KPU dalam putusan dismiss. Satu perkara lanjut dalam tahap pembuktian. Saat ini sidang proses pembuktian di MK.
Mahkamah Konstitusi telah memutus 100 perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) Kepala Daerah yang diajukan oleh para pasangan calon (Paslon) dan Pemantau Pemilihan.
Dalam putusan yang dibacakan sejak 15-17 Februari itu, MK menyatakan hanya 32 PHP Pilkada yang masuk dalam tahapan selanjutnya yakni pembuktian. Sedangkan 100 perkara dinyatakan dismiss atau ditolak karena tidak dapat dilanjutkan dengan alasan hukum.
Dalam Pilkada 9 Desember 2019 lalu, KPU melaksanakan Pilkada di 270 daerah. Dari total hajatan memilih pemimpin daerah itu, sebanyak 132 mengajukan gugatan di MK.