Sabtu 27 Feb 2021 01:16 WIB

Maestro Bulantrisna Djelantik, Mencintai Tari Hingga Akhir

Bulantrisna Djelantik didiagnosis menderita kanker pada akhir 2019

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Maestro Tari Legong Bulantrisna Djelantik (kiri) bersama Direktur PT Nuansa Porselen Indonesia Bagus Pursena (kanan) memperlihatkan karya Enchanting Legong. Kepergian Maestro Tari Legong Ayu Bulantrisna Djelantik di usia 73 tahun pada Rabu (24/2) lalu menyisakan duka bagi dunia seni tari Indonesia. Akan tetapi, kebaikan hati dan juga kecintaan Bulantrisna pada seni tari tetap hidup di dalam hati banyak orang.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Maestro Tari Legong Bulantrisna Djelantik (kiri) bersama Direktur PT Nuansa Porselen Indonesia Bagus Pursena (kanan) memperlihatkan karya Enchanting Legong. Kepergian Maestro Tari Legong Ayu Bulantrisna Djelantik di usia 73 tahun pada Rabu (24/2) lalu menyisakan duka bagi dunia seni tari Indonesia. Akan tetapi, kebaikan hati dan juga kecintaan Bulantrisna pada seni tari tetap hidup di dalam hati banyak orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepergian Maestro Tari Legong Ayu Bulantrisna Djelantik di usia 73 tahun pada Rabu (24/2) lalu menyisakan duka bagi dunia seni tari Indonesia. Akan tetapi, kebaikan hati dan juga kecintaan Bulantrisna pada seni tari tetap hidup di dalam hati banyak orang.

"Biyang terdiagnosis kanker, sekitar akhir 2019," cerita menantu Bulantrisna yang juga merupakan pendiri Narabahasa Ivan Lanin, saat dihubungi Republika, Jumat (26/2).

Ivan mengatakan Bulantrisna mengatakan salah satu hal paling berkesan dari sosok Bulantrisna adalah kebaikan hatinya. Menurut Ivan, perempuan yang merupakan cucu dari raja terakhir Kerajaan Karangasem, Bali, tersebut senang sekali memberikan hadiah-hadiah kecil kepada orang terdekat.

Selain itu, Bulantrisna juga merupakan sosok yang tidak ingin merepotkan orang lain. Sejak akhir 2020 lalu misalnya, Bulantrisna mulai kesulitan untuk makan akibat kanker yang dideritanya. Meski merasa kesakitan, Bulantrisna tetap menunjukkan sisi cerianya.

Salah satu sisi ceria Bulantrisna terlihat dari aktivitasnya di grup percakapan Whatsapp bersama keluarga. Ketika kondisinya sedang lebih baik, Bulantrisna kerap menghabiskan waktu di kebun yang khusus dibuatkan oleh sang suami. Di sana, dia akan mengambil swafoto dan mengirimkan foto tersebut ke grup percakapan Whatsapp.

"Suka memberi, di sisi lain tidak suka merepotkan (orang lain), itu kadang-kadang membuat saya bertanya-tanya ini malaikat atau orang sebenarnya," ujar Ivan.

Pejalanan hidup Bulantrinsa juga tak bisa dipisahkan dari tari. Perempuan yang berprofesi sebagai dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan ini sudah menggeluti dunia tari sejak kecil. Bulantrisna pertama kali menggeluti dunia tari di Puri sang kakek, yaitu raja terakhir dari Kerajaan Karangasem, Bali, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem.

Saat dalam kondisi sakit akibat kanker pun kecintaan Bulantrisna pada dunia tari tidak padam. Bahkan, lanjut Ivan, Bulantrisna masih menyempatkan diri untuk mengikuti seminar daring dan mengajar tari ketika masih sakit.

"Ketika cinta dengan sesuatu, apa pun yang terjadi kita tetap akan kembali ke sana," jelas Ivan.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh maestro tari Indonesia Didik Nini Thowok. Didik mengatakan Bulantrisna memiliki semangat menari yang luar biasa.

"Memang hidupnya beliau itu menari kalau aku lihat," ujar Didik saat dihubungi Republika, Jumat (26/2).

Didik mengatakan dia beberapa kali berkesempatan tampil di satu panggung yang sama bersama Bulantrisna. Bagi Didik, salah satu hal yang tak terlupakan dari Bulantrisna adalah kharisma yang dia pancarkan ketika berada di atas panggung.

"Kharisma beliau luar biasa, begitu sudah di panggung, transformasinya sangat luar biasa," tukas Didik.

Di dunia tari, Bulantrisna juga telah menghasilkan banyak karya. Salah satu karya yang paling berkesan bagi Didik adalah kolaborasi Bulantrisna dengan maestro tari Jawa klasik Theodora Retno Maruti melalui karya "Bedoyo-Legong Calonarang".

"Saya cukup terkesan, mengolaborasikan antara Legong dengan Bedoyo, antara Jawa dengan Bali itu kan sangat kontras, dua maestro ini sangat luar biasa," tutur Didik.

Didik pun tak kuasa menahan tangis ketika mengenang sosok Bulantrisna. Bagi Didik, hal lain yang juga tak terlupakan dari sang maestro tari legong tersebut adalah kebaikan hatinya.

"Beliau baik hati dan lembut sekali," ujar Didik. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement