Oleh : Ani Nursalikah*
REPUBLIKA.CO.ID, Peran ulama perempuan di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Minim kisah mengenai tokoh ulama perempuan yang diceritakan. Tidak heran gaungnya kurang terdengar.
Sepengetahuan penulis, sebagian besar ulama perempuan berkiprah di tingkat majelis taklim kelurahan dan kecamatan. Peran mereka sangat penting karena mengedukasi para ibu dan remaja putri.
Tidak banyak ulama perempuan yang menonjol, padahal peran mereka sangat strategis karena perempuan memiliki kekuatan hati dan sikap yang teguh. Perempuan di satu sisi punya kelembutan, tapi juga punya kekukuhan sikap secara umum.
Pandangan perempuan di bidang keagamaan juga perlu ada agar penafsiran agama tidak terasa patriarkis. Islam dikenal sangat menjunjung tinggi harkat martabat dan peran perempuan.
Laki-laki dan perempuan dalam Islam mempunyai kedudukan yang setara. Perempuan tidak diharamkan menjadi ketua majelis ulama, misalnya.
Hal inilah yang mendorong Badan Pengelola Masjid Istiqlal mengadakan program kaderisasi ulama perempuan yang bisa dibilang langka. Mereka akan difokuskan melakukan kajian kesetaraan gender dalam perspektif ajaran Islam.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyebut program ini bisa menghasilkan lebih banyak ulama perempuan di berbagai daerah sehingga pembacaan Alquran dan penafsirannya tidak bias gender. Pelatihan ulama perempuan ini disebut sebagai yang pertama di dunia.
Kualitas dan kuantitas ulama perempuan sangat diperlukan untuk membaca dan menafsirkan kitab-kitab, Alquran, dan hadist. Kemenag mengakui jumlah ulama perempuan memang masih kalah jika dibandingkan ulama laki-laki. Ulama laki-laki masih mendominasi.
Jika dilihat ke belakang, Indonesia memiliki ulama perempuan mumpuni. Sebut saja Nyai Khoiriyah Hasyim. Ia adalah putri kedua dari KH Hasyim Asy’ari.
Nyai Khoiriyah merupakan pelopor pendidikan pesantren putri pada masanya. Ia mendirikan Pesantren Syafi'iyah Salafiyah Seblak di Jombang. Bahkan, ketika pindak ke Makkah ia juga mendirikan pusat pendidikan untuk putri yang pertama di Makkah.
Ada pula Nyai Sholihah Munawwaroh. Ibunda presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid ini adalah figur Muslimah yang komplet.
Nyai Sholihah aktif berdakwah dan berorganisasi. Selepas ditinggal suami tercinta, ia menghidupi anak-anaknya yang masih kecil dengan berdagang.
Kehidupan sebagai organisatoris tidak ia tinggalkan. Ia meniti karier dakwah di Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), mulai dari tingkat Gambir, Matraman, menjadi Ketua Muslimat NU DKI Jakarta, dan Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU. Nyai Sholihah sempat duduk di DPRD DKI Jakarta.
Ia mendirikan sejumlah yayasan dan lembaga. Nyai Sholihah adalah pribadi yang akrab dengan rakyat. Ia tak segan aktif di organisasi level RT dan kelurahan tempat tinggalnya. Ia juga dikenal enggan berbelanja di supermarket. Nyai Sholihah lebih memilih membeli bahan kebutuhannya di pasar tradisional.
Tersebutlah sosok Siti Walidah. Dia adalah istri Kiai Ahmad Dahlan, karena itu akrab disebut Nyai Ahmad Dahlan.
Nyai Dahlan menjadi penyambung semangat dan gagasan dari Kiai Dahlan kepada generasi penerus, khususnya perempuan melalui Sopo Tresno, cikal bakal Aisyiyah, organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah. Ia mendirikan pondok untuk anak-anak perempuan. Terutama yang belajar di mualimat untuk calon guru agama. Siti Walidah secara langsung memberikan pelajaran ilmu agama, ilmu umum dan baca tulis.
Usaha Siti Walidah mendapat tantangan dari masyarakat Kauman. Karena pada saat itu, tidak lazim anak perempuan belajar baca tulis.
Peristiwa menarik terjadi pada saat Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya. Kala itu peserta kongres tercengang ketika mengetahui kongres tersebut dipimpin seorang perempuan yang tak lain adalah Siti Walidah. Sebab pada masa itu, belum pernah ada perempuan yang berani memimpin kongres.
Indonesia juga harus bangga punya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar perdana pada 2017. KUPI ini menjadi ruang perjumpaan untuk peneguhan eksistensi dan peran ulama perempuan. KUPI berhasil mengeluarkan fatwa atas tiga isu besar, yakni kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan alam.
Kepemimpinan yang telah ditunjukkan para pendahulu ini sudah selayaknya diteruskan. Media juga diharapkan mencari narasumber ulama perempuan agar ada perspektif lain sebagai penyeimbang.
Program kaderisasi ulama perempuan yang diinisiasi Masjid Istiqlal harus didukung. Kaderisasi ulama perempuan penting agar persoalan-persoalan terkait wanita diputuskan dengan mempertimbangan suara perempuan.