Oleh : Muhammad Hafil*
REPUBLIKA.CO.ID, Seorang Kepala Suku Indian Kiowa bernama Tangua di Amerika Serikat, rela bersekutu dengan muka pucat (kulit putih), demi mendapatkan air api (minuman keras) untuk dirinya dan seluruh anggota sukunya. Perjanjiannya, Suku Kiowa harus memerangi Suku Apache yang sama-sama satu bangsa Indian yang berkulit merah.
Perjanjian lainnya, Suku Kiowa harus menjadi penunjuk jalan lokasi-lokasi tempat emas-emas yang belum ditambang. Di mana selama ini, Suku Apache mempertahankan mati-matian lokasi-lokasi tambang emas dari muka pucat yang serakah.
Akhirnya, Suku Kiowa dan Suku Apache saling berperang. Dan sebagaimana kita ketahui, bangsa Indian di AS dinyatakan punah di tanahnya sendiri. Muka pucat pun berkuasa di Amerika Serikat hingga saat ini dan menguasai emas-emas yang lokasinya di tanah-tanah bangsa Indian.
Kisah di atas adalah cerita Novel dalam kisah Winnetou yang ditulis oleh Dr Karl May pada akhir abad 19. Meski novel, namun kondisi itu penggambaran nyata yang menunjukkan suku Indian dan kulit putih pada saat itu memang berkonflik. Dan, salah satu penyebab musnahnya bangsa Indian disebabkan karena minuman keras sebagaimana yang digambarkan oleh Karl May.
Saat ini, di abad 21, orang Papua sudah merasakan dampak mematikan dari miras yang menghancurkan mereka. Banyak orang Papua yang mati dan hancur karena miras. Angka kecelakaan lalu lintas yang dimulai dengan konsumsi miras, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kejahatan.
Menyadari dampak menghancurkan dari miras itu, segenap tokoh adat dan pemerintah di Papua membuat perda tentang larangan miras pada 2013.
Baca juga : Demokrat Sayangkan Sikap Ketua KMD Dukung KLB
Perda itu dijalankan pada 2016 di mana Papua resmi mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No mor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Gubernur Provinsi Papua pada sat itu menegaskan, perda itu untuk menyelamatkan dan melindungi penduduk Papua.
Pemprov Papua pun telah menerbitkan Instruksi Gubernur Papua Nomor 3 /INSTR-GUB/Tahun 2016. Yakni, tentang pendataan orang asli Papua dan pelarangan produksi, pengedaran, dan penjualan minuman beralkohol di Bumi Cenderawasih.
"Instruksi ini intinya ingin melaku kan pendataan/sensus penduduk orang asli Papua di seluruh kabupaten/kota maupun yang berada di luar Papua sesuai status kependudukannya. Juga, melarang atau tidak merekomendasikan produksi, pengedaran, dan penjualan minuman beralkohol jenis apa pun yang memabukkan di wilayah ini," kata Gubernur Lukas saat itu.
Pemerintah Papua ingin melindungi orang asli Papua atau penduduk pada umumnya dari kepunahan yang sedang mengincar lewat peredaran minuman beralkohol yang bisa berujung pada perbuatan kriminal dan kematian.
"Ini adalah langkah maju, sejarah yang sedang kita buat untuk masa depan anak cucu kita. Orang Papua harus maju dengan pendidikan dan kesehatan yang terjamin," kata gubernur Lukas saat itu.
Pada 2015, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Yambise, yang juga kelahiran Papua, juga mengatakan penyebab utama lain angka kekerasan terhadap perempuan tinggi adalah karena miras. Hal itu dikatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Yembise. Dia pun berharap permasalahan miras ini bisa segera diselesaikan.
Baca juga : Konten Video Viral Penembakan Gus Idris akan Dicek Polisi
Artinya, tokoh Papua saat ini sudah menyadari akan dampak berbahaya miras yang bisa memusnahkan orang-orang Papua. Tetapi kenyataannya saat ini, pemerintah pusat justru membuat kebijakan yang mencengangkan.
Belum lama ini pemerintah telah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI). Sebelumnya, industri minuman beralkohol merupakan bidang insdustri tertutup. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah diteken Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.
Dalam Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 pada angka 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Aturan ini justru bertentangan dengan keinginan masyarakat di Papua. Pemerintah cenderung memikirkan keuntungan ekonomi semata namun tak terlalu memikirkan dampak dari investasi yang diizinkan bagi masyarakat.
Tak perlu membawa-bawa dalil agama untuk menolak izin investasi dan industri miras. Tetapi, dampak yang terlihat sudah nyata, potensi kehancuran dan musnahnya masyarakat.
Mengutip tulisan Muhammad Lili Nur Aulia, Sekretaris Institut Indonesia yang diterbitkan Republika pada 1 Maret 2021, satu-satunya agama yang menghalalkan alkohol dan miras adalah agama uang (The Religion of Money). Tidak perlu retorika dan debat kusir untuk membuktikan bahwa alkohol merusak dan mengorbankan banyak orang.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id