REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Masalah moral, masalah akhlak.
Biar kami, cari sendiri.
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu.
Peraturan yang sehat, yang kami mau.
Tegakkan hukum, setegak-tegaknya.
Adil dan tegas, tak pandang bulu.
Pasti kuangkat engkau...
Menjadi manusia setengah dewa.
Itulah sebagian syair lagu 'Manusia Setengah Dewa'. Sebuah lagu genre pop balada. Dipopulerkan Iwan Fals pada 2004. Menyindir situasi sosial politik dan hukum di Indonesia. Sekaligus berharap mendapatkan pemimpin sekaliber manusia bersih alias 'setengah dewa'.
Bagi saya, lagu itu pas untuk menggambarkan sosok almarhum Doktor Artidjo Alkostar yang terpuji. Ini kali kedua, saya merasa kehilangan pendekar hukum yang saya kagumi. Sebelumnya Doktor Bismar Siregar. Ia wafat pada 2012 lalu.
Wafatnya Artidjo Alkostar adalah kehilangan bagi bangsa ini. Ia bagai manusia 'setengah dewa'. Artidjo. Nama itu terus terngiang di pikiran saya. Sosok yang dalam pikiran saya, orang ideal untuk menjadi Presiden RI.
Ia sederhana, sesederhana mungkin. Bersahaja yang sangat keterlaluan, menurut saya. Bukan pencitraan seperti politikus. Ia betul-berul naik bajaj ke kantor Mahkamah Agung (MA). Kost di kawasan padat penduduk. Di sebuah gang di Jakarta Pusat. Ketika membeli mobil, dia hanya membeli mobil bekas ukuran sedan mini buatan Korea.
Ya, ketika negara belum memberikan hak-haknya sebagai hakim agung. Ia tidak pernah mau menanyakan haknya. Padahal dia punya hak mendapatkan mobil dinas berikut sopirnya. Termasuk rumah jabatan bagi pejabat tinggi negara.
Bagi Artidjo bukan masalah. Dan ini bukan kampanye untuk menarik massa atau mencari pendukung. Apalagi menggalang buzzer. Bukan. Ini memang fakta bukan bersandiwara. Satunya kata dengan perbuatan, itulah Artidjo.
Baca juga : Formasi 44 Bintang Tiga, dan Wakil Panglima TNI tak Penting
Sejak lulus sebagai sarjana hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), ia selalu tampil dengan kesederhanaan. Termasuk saat menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) maupun senat di perguruan tingginya.
Begitu juga saat menjadi advokat. Bukan seperti kebanyakan pengacara pada umumnya. Ia mungkin satu dari sedikit pengacara yang tidak memasang tarif. Juga tidak pernah mau menagih uang kepada kliennya. Kendati memenangkan perkara di pengadilan.
Bahkan bagi yang tidak mampu, tidak perlu membayar jasanya. Ia lebih sering menggunakan kereta api dalam perjalanan Yogyakarta ke Jakarta. Daripada harus naik pesawat terbang. Dia adalah hakim algojo bagi para koruptor di MA. Hukumannya bisa berlipat-lipat jika perkara berada di tangannya.
Belasan orang koruptor yang mengajukan kasasi di MA dibuatnya sengsara. Nama-nama politikus beken negeri ini. Misalnya, Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaaq, Atut Chosiyah, Angelina Sondakh, Irjen Djoko Susilo serta Akil Mohctar. Mereka dibuat merintih.
Artidjo juga ahli hukum hak asasi manusia. Ia belajar membela korban-korban kekerasan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya dalam kursus spesialisasi di Amerika Serikat.
Mungkin jika masih jadi pengacara, kasus 'pembantaian' yang dilakukan aparat terhadap enam anggota laskar ormas, akan dibelanya. Saat era Orde Baru, korban penembakan misterius (petrus) dibelanya. Dilindungi agar negara tidak sewenang-wenang bertindak di luar hukum.
Lelaki asal Madura itu melanjutkan kuliah master hukum di Nortwestern University Chicago. Doktor ilmu hukum dari Universitas Diponegoro itu, 14 tahun menjadi hakim agung. Ia kemudian dipilih menjadi Ketua Kamar Pidana MA sejak 2014. Sampai akhirnya pensiun dari MA pada pertengahan 2018 lalu.
Baca juga : Datangi KPK, Menteri BUMN Buka Sistem Pengaduan Korupsi
Ketika ia pensiun sebagai hakim agung, saya berpikir bahwa negara akan rugi jika tidak memanfaatkan orang seperti Artidjo. Hingga akhirnya dia dipercaya menjadi anggota dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (dewas KPK).
Padahal sebelumnya, tingkat kepercayaan saya kepada lembaga antirusuah ini sempat ambruk. Terutama ketika melihat proses pemilihan pimpinan KPK. Panitia seleksi menurut penilaian saya, mengabaikan aspek integritas dan rekam jejak para calon. Hasilnya, pimpinan KPK yang terpilih, memiliki banyak catatan negatif.
Namun, rasa optimistis kembali terbuka ketika mengetahui nama-nama personel dewas. Ada nama seperti Artidjo Alkostar, Albertina Ho, dan Prof Syamsuddin Haris. Saya cuma kenal pribadi dengan Syamsuddin Haris.
Ia dosen pembimbing skripsi saya di S1 Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas). Juga dosen saya di S3 Ilmu Politik Unas. Memiliki integritas keilmuwan yang tinggi. Satu-satunya anggota dewas yang bukan berlatar ilmu hukum.
Albertina Ho, saya mulai mengenalnya saat ia menjadi hakim kasus pegawai pajak Gayus Tambunan. Pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-A (setingkat letnan dua TNI atau inspektur dua Polisi), tetapi memiliki kekayaan lebih dari Rp 100 miliar. Gila!
Artidjo membuat para koruptor panas dingin. Karena itulah, banyak koruptor yang mengajukan kasasi ke MA, langsung lemas. Lemas, karena hukumannya bakal ditambah. Jadi, jangan heran apabila banyak koruptor mencabut gugatannya, setelah mengetahui bahwa hakimnya adalah Artidjo. Baginya hukum bukan mainan.
Walau hidup adalah permainan.
Walau hidup adalah hiburan.
Tetapi kami tak mau dipermainkan.
Dan kami juga bukan hiburan.
(syair lagu Manusia 'Setengah Dewa').
Selamat jalan manusia 'setengah dewa'. Tuhan Sang Pencipta alam semesta insya Allah akan memberikan tempat yang sangat layak bagi Mas Ar, panggilan akrab Artidjo Alkostar. Doaku untukmu. Aamiin.