Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Cahaya matahari cerah. Langit bernuansa biru terang disertai awan-awan putih menghiasi suasana Ahad pagi di Kota Banda Aceh, 26 Desember 2004. Sebagian warga sedang melakukan kegiatan olah raga di lapangan, bersantai di taman, dan berwisata di pantai. Sebagian lainnya bersiap-siap melakukan beragam aktivitas, seperti membersihkan rumah, membuka toko, atau kedai.
Namun, pemandangan indah tersebut seketika berubah muram. Pada pukul 07.59 WIB, gempa menguncang dengan kekuatan 9,3 Skala Richter (SR). Warga panik berlarian keluar rumah dan gedung, berdoa, dan mengucapkan asma Allah. Sebagian besar gedung dan rumah rubuh diguncang gempa mahadahsyat tersebut.
Tidak lama setelah itu, muncul air bah dari laut atau tsunami yang diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter, dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam. Dalam sekejab, Kota Banda Aceh berpenduduk 250 ribu jiwa itu luluh-lantak.
Waktu yang sama di Jakarta, belum ada satu pun orang yang mengetahui apa yang terjadi di Kota Banda Aceh. Baru pada pukul 16.00 WIB, ada kabar Kota Banda Aceh di guncang gempa hebat yang diikuti terjangan tsunami. "Besok segera ke kantor, persiapan tugas ke Aceh," ujar Pemimpin Redaksi (Pemred) Republika, Asro Kamal Rokan.
Senin 27 Desember 2004, setumpuk penugasan sudah menanti berikut selembar tiket pesawat menuju Kota Medan. Selain meliput merangkap sebagai reporter dan fotografer, aku juga mendapat tugas mengawal bantuan sembako sumbangan bencana pembaca Republika.
"Sembako sudah siap di Medan. Loe juga harus cari tempat buat posko Republika," perintah Direktur Utama (Dirut) Republika, Dudi Gambiro.
Bolak-balik meliput konflik bersenjata di Aceh menjadi alasan utama aku yang ditugaskan kembali ke sana. Aku belum membayangkan situasi dan kondisi Kota Banda Aceh usai bencana gempa dan tsunami yang konon salah satu terbesar di dunia karena terputusnya jalur komunikasi sehingga minim informasi.
Sempat delay hampir enam jam di Bandara Soekarno-Hatta, akhirnya Selasa 28 Desember 2004, aku tiba di bandara Polonia Medan. Setelah menemui relawan Republika yang akan membawa bantuan satu truk sembako, aku memutuskan untuk berangkat ke Kota Banda Aceh pada Rabu 29 Desember 2004.
Bukanlah hal mudah mendapatkan kendaraan sewaan yang bersedia menempuh perjalanan Jalan Medan-Banda Aceh selama 12 jam. Penyebabnya sejumlah akses jalan, terutama di perbatasan Medan-Aceh terputus karena banjir di kawasan Aceh Tamiang dan pejagaan cukup ketat di pos perbatasan.
Apalagi, saat itu masih diterapkannya Darurat Militer (DM) Aceh, tentu masih banyak pos-pos penjagaan TNI/Polri yang mengharuskan kendaraan kami berhenti untuk diperiksa. Kami ditanyai maksud dan tujuan ke Kota Banda Aceh dan menanyakan surat jalan truk yang berisi sembako. Setelah aku jelaskan sedang membawa bantuan Republika untuk korban gempa dan tsunami, lalu kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Sepanjang Jalan Medan-Banda Aceh yang kami lalui cukup sepi. Toko-toko dan kedai juga banyak yang tutup. Hanya terlihat cukup ramai aktivitas di masjid dan meunasah. Suasana telah terjadi bencana gempa dan tsunami baru terasa saat tiba di Kota Lhokseumawe.
Di sepanjang jalan terlihat tenda-tenda pengungsi dan kendaraan yang lalu lalang. Kami pun akhirnya memilih berhenti untuk beristirahat, melihat suasana, dan mencari informasi. Sejumlah warga memberi informasi bahwa Kota Lhokseumawe juga diguncang gempa dan tsunami yang tidak terlalu besar, hanya menerjang rumah-rumah di pinggir pantai.
Mereka juga memberitahukan ke kami bahwa Kota Banda Aceh seperti kota mati. Gempa dan air bah menghancurkan kota. Banyak yang tewas, mayat bergelimpangan di mana-mana, bau busuk sangat menyengat.
Informasi situasi Kota Banda Aceh kebanyakan diperoleh warga dari mulut ke mulut karena semua jalur komunikasi terputus. Aliran listrik tak berfungsi dan susah memperoleh air bersih.
Malam, pukul 20.00 WIB, memasuki Kota Banda Aceh suasana gelap gulita, hanya lampu mobil yang diandalkan untuk menerangi jalan. Tiba-tiba supir memberhentikan mobil secara mendadak karena ada beberapa mayat terbujur kaku di setengah badan jalan. Aku turun dari mobil untuk memandu laju kendaraan dan memastikan mayat-mayat tersebut tidak terlindas. Aroma bau busuk dan amis menyengat dihembus angin malam, sangat terasa menghampiri penciuman.
Aku langsung kembali ke dalam mobil. Kendaraan berjalan perlahan. Sepanjang jalan aku melihat pemandangan gelimpangan mayat yang memilukan. Tak terasa air mataku menetes tatkala melihat mayat anak-anak dan bayi.
Suasana horor membuat bulu kudukku merinding karena semakin banyak terlihat mayat-mayat terbujur kaku di pingir-pingir jalan. Suasana mencekam, Kota Banda Aceh tampak porak-poranda, tak ada tanda-tanda kehidupan, seperti sebuah kota dalam cerita-cerita film zombie.
Kemudian aku meminta sopir untuk menuju Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi titik pusat Kota Banda Aceh. Suasana gelap-gulita, hanya terlihat cahaya tamaram dari dalam masjid. Kami memutuskan berhenti di depan masjid yang tampak masih berdiri kokoh. Berbekal senter, kami memasuki halaman masjid yang juga terdapat cukup banyak mayat, namun tidak begitu tercium aroma bau busuk. Kami juga harus melewati mayat-mayat yang sudah ditutupi kain saat melawati teras masjid.
Puluhan orang langsung menatap ke arah kami saat memasuki area dalam masjid. Ternyata di dalam masjid dipenuhi sekitar seratusan orang. Ada yang duduk-duduk bersandar di pilar-pilar masjid, ada yang mondar-mandir, serta ada yang sedang shalat dan mengaji. Kami kemudian memperkenalkan diri dengan beberapa relawan PMI yang ada di dalam masjid.
Tiba-tiba bangunan masjid terasa bergetar cukup kencang. Beberapa relawan PMI mengingatkan terjadi gempa sambil berlari keluar masjid. Kami pun tak tinggal diam secepat kilat langsung berlari dan bertiarap di halaman masjid. Saat gempa yang berlangsung beberapa detik itu berlalu, aku baru sadar sedang bertiarap dengan sesosok mayat yang terbujur kaku dengan wajah menatapku.
Kemudian aku berdiri dan kembali masuk ke dalam masjid dan bertanya ke salah seorang relawan PMI terkait tak ada satupun pengungsi yang ketakutan dan lari keluar saat terjadi gempa. "Mereka sudah biasa dan pasrah serta ikhlas jika harus mati terkubur di dalam masjid," ujar seorang relawan PMI.
Menurut relawan tersebut, sejak gempa besar, gempa susulan beberapa kali terus terjadi setiap hari dengan kekuatan sedang dan kecil. Mereka juga menjelaskan sebagian besar warga memilih mengungsi ke luar Kota Banda Aceh.
"Kebanyakan pengungsi memilih keluar dari Kota Banda Aceh karena tidak ada listrik dan air bersih, juga tidak berfungsinya alat komunikasi serta sulitnya mendapat pasokan makanan," terang relawan itu.
Waktu sudah larut malam, menunjukkan pukul 24.00 WIB. Relawan PMI menyarankan kami untuk mencari tempat posko di dekat kompleks Pendopo Gubernur Aceh yang tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman.