REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edy Setijono, Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (TWC)
Intelligence is the ability to adapt to change, — Stephen Hawking
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang terjadi pada masa pandemi Covid-19. Perubahan tengah terjadi. Kita tak bisa lari dan menolaknya. Sebagaimana pendapat ilmuwan besar dunia Stephen Hawking yang dibutuhkan saat ini adalah kecerdasan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang datang.
Apa yang disampaikan Hawking itu menjadi sangat related untuk merespons program nasional unggulan bernama lima destinasi super prioritas. Sebelum masa pandemi datang, sektor pariwisata menjadi salah satu program unggulan dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk mendatangkan devisa negara.
Tapi di saat pandemi datang, pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling terpukul di sejumlah negara, termasuk Indonesia di dalamnya. Kunjungan wisatawan seperti terjun bebas. Geliat ekonomi masyarakat yang sebelumnya hidup dan bergeliat, pada masa pandemi Covid-19 langsung luruh dan lunglai seperti tanaman yang mengalami defisit air dan unsur hara.
Destinasi super prioritas Borobudur, misalnya, menjadi salah tempat yang signifikan mengalami dampak dari pandemi ini. Sebelum Covid-19, kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur ini tercatat bisa mencapai 11 ribu per hari. Data di sepanjang 2019 pun mencatat ada sebanyak 3,7 juta wisatawan nusantara (wisnus) dan 242.082 wisatawan mancanegara (wisman) untuk berwisata ke candi Buddha terbesar di dunia ini.
Namun data real time harian pengunjung ke candi Borobudur pada masa weekday hanya berkisar antara 300-500 pengunjung saja. Misalnya data yang tercatat pada Kamis (25 Februari 2021) jumlah pengunjung yang datang ke Borobudur hanya ada 579. Sehari berikutnya melorot menjadi 360 kunjungan. Baru pada hari Sabtu meningkat menjadi 900 kunjungan dan Ahad (1.300 kunjungan).
Inilah fakta empiris yang terjadi pada masa pandemi Covid. Lalu pertanyaan pun muncul apa yang menjadi target output di masa pandemi bagi para pengelola tempat dari lima destinasi super prioritas ini? Haruskah ukurannya tetap pada pendekatan kuantitas pengunjung saja?
Rasanya sungguh muskil jika program Destinasi Super Prioritas yang menjadi kebijakan unggulan pemerintahan Jokowi tetap bersandar pada ukuran kuantitas. Memang benar, program vaksinasi massal yang mulai dijalankan belum lama ini telah meletupkan harapan untuk kembali menggeliatkan semua sektor usaha dan bisnis di negeri ini.
Namun harus dipahami juga, sektor pariwisata yang berorientasi mancanegara tentunya akan sangat sangat bergantung pada kebijakan yang diterapkan setiap negara setempat. Artinya, ketika Indonesia sudah membuka pintu masuk dan mengeluarkan visa kunjungan wisata, semua itu tak cukup untuk mengajak para wisatawan meringankan langkah kakinya ke negeri ini.
Di sinilah menjadi sangat penting peran dari provider wisata di luar negeri dan Kementerian Luar Negeri untuk menjelaskan bahwa bepergian ke Indonesia sudah benar-benar aman. Untuk bisa menguatkannya diperlukan juga narasi-narasi yang tidak sebatas pada jargon bahwa Indonesia sudah aman.
Bentuk kongkret untuk meyakinkan orang-orang luar itu adalah data statistik laju infeksi Covid harus bisa menunjukkan tren menurun, bahkan mulai melandai. Selain itu, perlunya pendataan (mapping) terhadap penyebaran Covid dan vaksinasi harus dilakukan lebih masif lagi. Pada fase ini, diperlukan adanya kesadaran bersama dari masyarakat, pemerintah, pihak swasta maupun para stakeholders lainnya untuk berkomitmen dan bersungguh-sungguh membawa negeri ini terbebas lebih cepat dari Covid-19.