REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Slamet Tuharie*
Terbitnya UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti UU No. 38 Tahun 1999 merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam rangka menertibkan aktivitas perzakatan di Indonesia. Nasikh mansukh atas UU pengelolaan zakat ini bisa dikatakan sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis mengingat potensi zakat di Indonesia yang begitu besar dan belum dicapai secara maksimal.
Meskipun demikian, bukan berarti UU No. 23 Tahun 2011 ini bisa dikatakan sebagai UU Pengelolaan Zakat yang ‘sempurna'. Hal krusial dalam perubahan UU zakat ini salah satunya adalah soal positioning Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang jika dalam UU No. 38 Tahun 1999 setara dengan BAZNAS, maka pada UU No. 23 Tahun 2011, LAZ diposisikan sebagai Lembaga yang ‘membantu’ aktivitas pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS.
Hal lainnya dalam UU No. 38 Tahun 1999, pembahasan tentang Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya ada pada 2 Pasal saja, maka pada UU No. 23 Tahun 2011 aturannya lebih banyak lagi, yaitu 13 Pasal. Artinya, jika aturan tentang LAZ pada UU No. 38 tahun 1999 bisa dikatakan sangat longgar, maka pada UU nasikh-nya lebih ketat lagi.
Meski demikian, regulasi yang ada saat ini tentang LAZ yang lebih detail pada UU 23 Tahun 2011 (dan turunannya seperti PP No. 14 Tahun 2014 dan KMA No. 333 Tahun 2015), tidak boleh dimaknai sebagai upaya untuk membatasi aktivitas pengelolaan zakat di masyarakat.
Sebaliknya, regulasi tentang perizinan LAZ harus dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk menertibkan seluruh penyelenggara kegiatan zakat agar sesuai dengan ketentuan Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.