REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap tanggal 11 Maret, masyarakat Indonesia diperingati kejadian yang tidak terlupakan, yakni lahirnya surat perintah sebelas Maret (Supersemar). Surat itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Yang menjadi kontroversial adalah sampai saat ini, keberadaan supersemar versi asli belum tidak ditemukan.
Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Kuncoro Hadi mengatakan Supersemar jelas ada. Ini diperkuat pada pidato Presiden Soekarno perayaan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.
“Dia (Presiden Soekarno) menjelaskan soal surat perintah itu bukan pengalihan kekuasaan. Dia hanya menyebutkan soal pengamanan kekuasaan dan menyebut bahwa Presiden Soeharto sudah menjalankan dengan baik. Tapi konteks menjalankan dengan baik saya tidak tahu,” kata Kuncoro kepada Republika.co.id, Kamis (4/3).
Pidato tersebut membuktikan Supersemar memang ada, hingga menjadi polemik sampai sekarang. Yang menjadi persoalan, kata dia, keberadaan Supersemar asli belum ditemukan. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan empat versi dan semuanya palsu.
Dilansir laman menpan.go.id, mantan kepala ANRI, M Asichin menjelaskan empat versi Supersemar berasal dari tiga instansi, yakni Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan. Dari Puspen TNI AD dan Akademi Kebangsaan masing-masing memiliki satu lembar versi Supersemar. Sementara dari Setneg ada dua versi, yakni Setneg dua versi.
Kuncoro menjelaskan, saat itu, Presiden Soekarno memberikan kewenangan kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan situasi yang memang sangat rentan. Ini akibat dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965.
“Sebenarnya Soekarno seperti mau mendedikasikan karena memang kita tahu kondisi kekuatan politik Soekarno tidak kuat saat itu. Terlebih situasi sosial, politik, dan ekonomi terutama di Jakarta sedang rusuh,” ujar dia.
Namun, memang jika dianalisis saat ini, dalam konteks kekuasaan politik kala itu seperti pengambilan kekuasaan yang akhirnya legal. “Dulu istilahnya creeping coup atau kudeta merangkak. Prosesnya kan panjang, salah satunya lewat Supersemar,” ucap dia.
Menurut Kuncoro, fenomena ini unik karena mungkin satu-satunya pengambilan kekuasaan dalam tangan militer terjadi di Indonesia dan legal. Ditambah, secara hukum Supersemar semakin kuat setelah dilegalkan melalui ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Ini dilakukan agar tidak dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.