Senin 08 Mar 2021 18:03 WIB

Mengangkat Ekonomi Lokal Lewat Mi Sagu

Menggalakkan mi sagu ini menunjukkan kemampuan kita dalam mengangkat kearifan lokal.

Rachmat Gobel (kiri batik biru) melakukan perjalanan kerja ke Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Gobel meninjau pabrik pengolahan sagu.
Foto: Republika
Rachmat Gobel (kiri batik biru) melakukan perjalanan kerja ke Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Gobel meninjau pabrik pengolahan sagu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Suatu kali, dalam suatu kunjungan ke Kabupaten Meranti, Riau, saya mendapati di wilayah ini terbiasa makan dengan sajian makanan dari bahan sagu. Ada bubur sempolet yang maknyus, dan yang mengejutkan adalah mi sagu.

Suatu kali, teman wartawan Malaysia menulis status di akun Facebooknya setelah berkunjung ke Meranti. Lalu saya menulis bahwa di sana ada mi sagu. Ia menjawab, ia membeli 40 kg mi sagu sebagai oleh-oleh. “Ini khas dan enak,” katanya. Orang Meranti bahkan dengan bangga bercerita bahwa wilayahnya merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Jadi, bukan Maluku atau Papua.

Pekan lalu, 2-4 Maret 2021, Rachmat Gobel melakukan perjalanan kerja ke Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Gobel, wakil ketua DPR RI yang membidangi industri dan pembangunan. Mantan menteri perdagangan berdarah Gorontalo, Sulawesi, itu hendak meninjau pabrik pengolahan sagu. Ia juga didampingi pejabat dari BPPT yang membidangi agroindustri.

Selain ke pabrik pembuatan tepung sagu, Gobel juga ditunjukkan produk-produk yang dibuat dari limbah sagu hasil home industry ibu-ibu seperti sabun cuci, sanitizer, dan lain-lain. Pemilik pabrik pembuatan tepung sagu menyatakan bahwa tepungnya dijual ke Jawa, khususnya di Cirebon dan Surabaya.

Daik adalah ibu kota kabupaten Lingga. Kabupaten ini memiliki ratusan pulau. Namun ada dua pulau besar, yang menjadi pulau utama kabupaten yang terletak di Kepulauan Riau ini.

Pertama, Pulau Lingga. Nama pulau ini yang dijadikan nama kabupaten. Kedua, Pulau Singkep. Kabupaten ini memiliki sekitar 104 ribu penduduk. Jumlah penduduk terbanyak tinggal di Pulau Singkep, bukan di Pulau Lingga. Ini karena di masa kolonial Belanda di pulau ini terdapat tambang timah – pabrik timahnya kini beralih menjadi museum dan sekolah. Karena itu di Singkep denyut ekonomi lebih hidup dan penduduk pun berdatangan.

Lalu kenapa ibu kotanya di Lingga? Ini masalah sejarah. Orang Melayu menyukai sejarah. Hal ini bisa dilihat mengapa ibu kota Kepulauan Riau terletak di Tanjung Pinang, bukan di Batam. Padahal Batam lebih ramai, lebih maju, dan lebih banyak penduduk. Namun mereka memilih Tanjung Pinang sebagai ibu kotanya. Ini karena di Tanjung Pinang, yang terletak di Pulau Bintan, merupakan letak kerajaan/kesultanan awal.

Nah, mengapa ibu kota Kabupaten Lingga terletak di Daik, bukan di Singkep? Ini karena di Daik terletak kesultanan Lingga. Kesultanan ini merupakan pindahan dari kesultanan di Bintan. Kesultanan Lingga membawahkan Riau, Johor, dan Pahang. Dua wilayah terakhir ini terletak di Malaysia. Ini semua gara-gara orang Eropa yang seenaknya mengerat-ngerat wilayah dan bangsa sesuai kepentingan kolonialisme.

Dua wilayah ini terlepas sejak terjadi Traktat London pada 1824, ketika Belanda dan Inggris berbagi wilayah jajahan, termasuk di wilayah Melayu. Karena kesultanan ini membawahkan empat tanah Melayu, maka kabupaten ini berjuluk Bunda Tanah Melayu. Seperti kita tahu, induk Bahasa Indonesia juga merupakan Bahasa Melayu Riau.

Di Lingga, tanaman sagu sudah menjadi tanaman budidaya yang sudah turun temurun. Sagu bukan lagi menjadi tanaman liar. Walau usia panen pohon sagu butuh waktu hingga tujuh tahun tetapi pasokan selalu tersedia. Karena itu, produksi tepung sagu terus berlangsung hingga kini.

Tepung sagu merupakan basis bahan pangan dan penganan tradisional. Butuh inovasi yang terus menerus agar sagu terus kekinian dan digemari generasi muda. “Makanan yang berasal dari tepung sagu indeks glikemiknya lebih rendah dibandingkan dengan makanan yang dari tepung gandum,” kata Arief Arianto, Direktur Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Indeks glikemik tepung gandum berkisar 70 dan mi gandum sekitar 48, sedangkan indeks glikemik untuk tepung sagu sekitar 65 dan mi sagu 28. Ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa (gula) pada tepung sagu lebih lambat daripada tepung gandum. Hal ini bagus bagi orang yang ingin mengontrol gula darahnya maupun bagi yang bermasalah dengan kolesterol. Hal ini juga menjadi bagus untuk kesehatan jantung maupun untuk keseimbangan berat badan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement