Saturday, 19 Jumadil Akhir 1446 / 21 December 2024

Saturday, 19 Jumadil Akhir 1446 / 21 December 2024

MK Periksa Pilbup Sabu Raijua, Pemerintah Diminta Tahan Diri

Selasa 09 Mar 2021 13:24 WIB

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita

Ketua Majelis Hakim Saldi Isra (tengah) didampingi hakim konstitusi Enny Nurbangingsih (kanan) dan Suhartoyo (kiri) memimpin sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (8/3/2021). Sidang mengagendakan pemeriksaan saksi terkait perkara Bupati terpilih Sabu Raijua Orient P Riwu Kore yang berstatus warga negara Amerika Serikat.

Ketua Majelis Hakim Saldi Isra (tengah) didampingi hakim konstitusi Enny Nurbangingsih (kanan) dan Suhartoyo (kiri) memimpin sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (8/3/2021). Sidang mengagendakan pemeriksaan saksi terkait perkara Bupati terpilih Sabu Raijua Orient P Riwu Kore yang berstatus warga negara Amerika Serikat.

Foto: ANTARA/Reno Esnir
Peneliti ingatkan jangan sampai ada proses ganda dalam kasus calon bupati Orient.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana meminta pemerintah menahan diri agar tidak mengganggu proses penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada) Kabupaten Sabu Raiju sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK akan kembali menggelar sidang sengketa hasil Pilkada Kabupaten Sabu Raijua pada Senin (15/3) pekan depan. 

Permintaan menahan diri ini karena pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masih mengkaji persoalan calon bupati Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore. Keputusan apapun terkait hal ini, Ihsan meminta agar ditunda atau disampaikan dalam persidangan. 

Baca Juga

"Termasuk output penelitian mereka soal kasus Orient, sebaiknya disampaikan dalam persidangan di MK saja," ujar kepada Republika, Selasa (9/3). 

Ihsan mengatakan, para pihak harus menempatkan MK sebagai lembaga yang dapat memutuskan problem pencalonan di Kabupaten Sabu Raijua. Kementerian/lembaga terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun pihak terkait akan diberi kesempatan oleh MK untuk memberikan keterangan. 

"Jangan sampai ada double process yang terjadi dan untuk kepastian hukum dan keadilan pemilu yang lebih baik," kata Ihsan. 

Ia menjelaskan, substansi permohonan yang diajukan oleh dua pemohon dalam perkara Kabupaten Sabu Raijua memang secara tidak langsung berkaitan dengan selisih hasil perolehan suara. Pokok permohonan berkaitan pada syarat pencalonan yang menjadi awal dalam sebuah proses kontestasi pilkada. 

Problem syarat pencalonan dapat saja menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh MK untuk memecahkan kekosongan hukum yang tidak kunjung terjawab. Selain itu, putusan MK yang final dan mengikat juga dapat menjadi satu proses penyelesaian hukum yang berkepastian karena sifat dari putusan MK itu sendiri. 

Persoalan pemilihan bupati (pilbup) Sabu Raijua bermula saat Bawaslu setempat menerima balasan surat dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) pada awal Februari 2021, yang menyatakan calon bupati terpilih, Orient P Riwu Kore, adalah warga AS. Namun, pada saat itu, Orient dan Thobias Uly sudah ditetapkan menjadi pasangan bupati dan wakil bupati terpilih oleh KPU Sabu Raijua. 

Sementara, syarat menjadi calon kepala daerah yang diamanatkan Undang-Undang tentang Pilkada adalah warga negara Indonesia (WNI). Sedangkan, ada fakta Orient adalah warga negara asing, meskipun Orient memiliki dokumen kependudukan Indonesia saat mendaftarkan diri di Pilkada 2020 lalu. 

Kemendagri hanya memutuskan untuk menunda pelantikan Orient dan Thobias karena menunggu keputusan Kemenkumham. Persoalan ini pun tak kunjung selesai, hingga dua permohonan perselisihan hasil pilbup Sabu Raijua diajukan ke MK. 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler