Selasa 09 Mar 2021 15:57 WIB

10 Tahun Petaka Fukushima, Masa Depan Nuklir Jadi Suram?

Hanya 9 dari 33 reaktor komersial Jepang yang tersisa setalah tragedi Fukushima.

Reaktor nuklir Fukushima
Foto: Kyodo
Reaktor nuklir Fukushima

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Dunia terpana ketika gempa bumi besar dan tsunami melanda Jepang pada 11 Maret 2011. Gempa itu menghancurkan kota-kota dan memicu kebocoran nuklir di Fukushima.

Dunia menyaksikan perjuangan kacau balau dalam penanganan bencana nuklir terburuk dunia itu sejak Chernobyl. Terpaan gelombang yang dipicu oleh gempa berkekuatan 9,0 magnitudo menghantam pantai timur laut, menewaskan hampir 20.000 orang dan melumpuhkan pembangkit Fukushima Dai-ichi.

Baca Juga

Lebih dari 160.000 penduduk lari menyelamatkan diri saat radiasi menyembur ke udara. Pada saat itu, beberapa pihak termasuk Perdana Menteri Naoto Kan khawatir Tokyo perlu dikosongkan, atau lebih buruk lagi.

"Fukushima tercatat dalam sepanjang sejarah energi nuklir," kata Kiyoshi Kurokawa, kepala tim investigasi.

Pemerintah telah menghabiskan sekitar 300 miliar dolar (Rp 4,3 kuadriliun) untuk membangun kembali wilayah Tohoku yang hancur akibat tsunami. Namun, daerah di sekitar pembangkit listrik Fukushima tetap terlarang.

Kekhawatiran atas tingkat radiasi tetap ada. Banyak orang yang pergi dari daerah itu menetap di tempat lain. Penutupan pembangkit yang rusak untuk menetralkan radiasi itu akan memakan waktu puluhan tahun dan menelan miliaran dolar.

Tenaga nuklir jadi perdebatan

Jepang kembali memperdebatkan peran tenaga nuklir dalam pembauran energinya. Sebab, negara miskin sumber daya itu bermaksud mencapai netralitas karbon bersih pada 2050 untuk melawan pemanasan global. Tetapi, survei TV publik NHK menunjukkan 85 persen kekhawatiran publik atas kecelakaan nuklir.

Kebijakan energi mengalami ketidakpastian setelah Shinzo Abe memimpin Partai Demokrat Liberal (LDP), yang pro energi nuklir, kembali berkuasa setahun setelah bencana. LDPmendepak Partai Demokrat Jepang yang belum berpengalaman, yang citranya dinodai oleh penanganannya di Fukushima.

"Mereka membiarkan hal-hal yang tertinggal terkatung-katung," kata Tobias Harris, wakil kepala senior di lembaga konsultan Teneo, dan penulis buku tentang Abe.

'Hasil Kolusi'Komisi Kurokawa, yang ditunjuk parlemen, menyimpulkan pada 2012 bahwa kecelakaan Fukushima adalah "hasil kolusi antara pemerintah, regulator, dan Tokyo Electric Power Co" dan kurangnya tata kelola.

Abe mengundurkan diri pada 2020, dengan alasan kesehatan yang buruk. Penggantinya, Yoshihide Suga, telah mengumumkan sasaran netralitas karbon bersih pada 2050.

Para pendukung mengatakan tenaga nuklir sangat penting untuk dekarbonisasi. Kritikus mengatakan biaya, keamanan, dan tantangan menyimpan limbah nuklir adalah alasan untuk menghindarinya.

"Mereka yang berbicara tentang tenaga atom adalah orang-orang di 'desa nuklir', yang ingin melindungi kepentingan pribadi mereka," kata mantan Perdana Menteri Kan pada konferensi pers pekan lalu.

Demonstrasi massa yang menentang tenaga nuklir, setelah tragedi 3/11, nuklir telah memudar, tetapi ketidakpercayaan tetap ada. Sebuah survei surat kabar Asahi Februari menemukan bahwa secara nasional, 53 persen responden menentang reaktor untuk dijalankan lagi sementara 32 persen mendukung. Di Fukushima, hanya 16 persen yang mendukung unit-unit reaktor dimulai kembali.

"Sepuluh tahun telah berlalu dan beberapa orang telah melupakannya. Semangat itu hilang," kata Yu Uchiyama, seorang profesor ilmu politik Universitas Tokyo.

"Memulai kembali ( tenaga nuklir) tidak terjadi, jadi orang berpikir jika mereka cuma menunggu, tenaga nuklir akan hilang."

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement