Oleh : Agus Yulianto*
REPUBLIKA.CO.ID, Setahun sudah wabah penyakit bernama Covid-19 melanda Tanah Air. Namun, entah hingga kapan penyakit ini akan enyah dari masyarakat Indonesia. Yang pasti, setiap pekan, angka terkait pasien Covid-19 sembuh, angka positif Covid 19 bertambah hingga jumlah kematian akibat Covid-19, terus berubah. Fluktiasi.
Yang pasti pula, Covid 19 ini telah memberikan dampak negatif bagi sektor kesehatan, perekonomian, dan juga pengangguran pada masa pemerintahan Jokowi sekarang. Berbagai upaya dengan mengerahkan semua kementerian pun dilakukan guna meminimalisasi dampak buruk tersebut.
Namun, seperti kita ketahui, hasil dari upaya pemerintah itu, masih belum menunjukan perubahan yang signifikan. Tengok misalnya, angka pengangguran yang terjadi selama masa pandemi ini. Jumlahnya cukup mengkhawatirkan. Jokowi menyebutnya ada sekitar 10 juta pengangguran dalam negeri.
Angka itu pun mengacu pada data BPS yang naik nyaris 3 juta orang dari jumlah pengangguran 2019 sebanyak 7,1 juta orang. Namun, data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang.
Menurut definisi KBBI, pengangguran atau tunakarya (unemployment) adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Umumnya, pengangguran disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada serta mampu menyerapnya.
Pengangguran sering kali menjadi masalah dalam perekonomian. Pasalnya, dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Lonjakan jumlah pengangguran yang terjadi saat ini bersumber pada dua hal, yakni imbas pandemi Covid-19 dan bertambahnya angkatan kerja baru. Dan sektor yang paling banyak kehilangan pekerjaan adalah perdagangan, manufaktur, konstruksi, jasa, dan akomodasi.
Dampak dari adanya pengangguran itu, Bappenas mencatat, tingkat kemiskinan pada 2020 ada dikisaran 9,7-10,2 persen. Jumlah itu setara dengan 26,2-27,5 juta orang.
Asumsinya, pemerintah telah melakukan sederet intervensi untuk pemulihan seperti reformasi perlindungan sosial, perbaikan data penerima bansos, dan perluasan bantuan sembako. Jika berhasil, angka kemiskinan bisa ditekan agar tidak terlalu jauh meningkat.
Sementara dilihat berdasarkan sebaran wilayah, ada enam provinsi yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi di atas level nasional, yakni 7,07 persen. Keenam daerah itu adalah DKI Jakarta dengan angka 10,95 persen. Disusul Banten dengan 10,64 persen, Jawa Barat 10,46 persen, Kepulauan Riau 10,34 persen, Maluku sebesar 7,57 persen, dan Sulawesi Utara sebesar 7,37 persen.
Memang, seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan jumlah pengangguran. Hanya saja, Sulawesi Barat menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran terendah yakni 3,32 persen.
Karenanya, pemerintah dengan berbagai strateginya, berupaya untuk menekan penambahan lebih jauh jumlah penganggur pada 2021. Di antaranya melalui pemulihan industri manufaktur, pariwisata, investasi, kewirausahaan, dan padat karya. Lalu kebijakan ini masih diperkuat lagi dengan reformasi sistem perlindungan sosial.
Merespons kondisi ini, pemerintah berupaya maksimal memperluas lapangan kerja. Dan kuncinya, menurut Presiden, adalah pembukaan investasi agar tenaga kerja terserap semaksimal mungkin.
Pemerintah memang sedang jor-joran menarik investasi. Selain menerbitkan UU Cipta Kerja yang diyakini bisa mempermulus masuknya investasi, pemerintah juga membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bernama Indonesia Investment Authority. Lembaga ini bertugas mengelola aliran investasi asing yang masuk ke Indonesia.
"Akibat pandemi selama setahun ini, kinerja perekonomian kita sangat terganggu. Kita tahu growth di tahun 2020, pertumbuhan ekonomi kita jatuh di minus 2,19 (persen)," ungkap Presiden.
Maka, dengan bertumpu pada investasi dan pertumbuhan konsumsi, presiden yakin kinerja ekonomi nasional pada 2021 bisa tembus 5 persen. Angka ini juga tertuang dalam asumsi APBN 2021. Bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai apalagi dari minus 2,19 persen.
Wajar, bila kemudian Presiden meminta seluruh tim ekonomi dalam kabinetnya, bergerak cepat tahun ini. Dia ingin target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen benar-benar tercapai tahun 2021 ini. Maka, seluruh motor penggerak ekonomi seperti faktor konsumsi dan investasi harus didorong agar ekonomi pulih.
Pada tataran inilah, maka perlu ada terobosan untuk bisa meningkatkan kinerja perdagangan terutama nilai ekspor. Kinerja perdagangan menjadi salah satu pengerek angka pertumbuhan, kendati tantangannya masih cukup berat tahun lantaran pandemi belum usai. Harapannya, agar angka pengangguran dan kemiskinan bisa ditekan tidak melebih angka yang ada sekarang.
Ya, pandemi Covid-19 memang membawa dampak yang luar biasa terhadap 29,12 juta penduduk usia kerja. Di mana hampir 3 juta penduduk menjadi pengangguran. Maka, dengan intervensi yang dilakukan pemerintah, akankah pengangguran itu bertambah lagi?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id