Sabtu 13 Mar 2021 16:17 WIB

Seberapa Transparan dan Akuntabel Polisi Virtual?

Pemolisian prediktif harus tetap dilakukan dengan pengawasan, akuntabilitas.

Polisi Virtual
Foto: Republika
Polisi Virtual

Oleh : Ratna Puspita*

REPUBLIKA.CO.ID, Lebih dari dua minggu beroperasi, polisi virtual telah memberikan peringatan untuk 125 konten di media sosial. Artinya, ada tujuh sampai delapan konten yang terjaring dalam patroli polisi virtual. Dari angka itu, 89 konten dinyatakan telah memenuhi unsur ujaran kebencian, sedangkan 36 konten tidak memenuhi unsur ujaran kebencian. Dari angka-angka itu pula, ada 21 akun yang tiba-tiba hilang sebelum ditegur. Polri menyebut akun-akun tersebut 'hit and run’, selayaknya istilah dalam jual-beli daring ketika ada pembeli yang sudah menyatakan ingin membeli tetapi justru kabur ketika barang sudah tersedia.

Polisi virtual yang dilakukan oleh Polri memang bukan aksi baru di dunia. Polisi virtual memang bukan seperti kantor polisi virtual (police virtual station) yang diterapkan sejumlah kota seperti Brampton, Kanada, dan Odisha, India. Kantor polisi virtual merujuk pada praktik masyarakat melaporkan kejadian atau melakukan pengaduan secara virtual alias tidak perlu datang ke kantor polisi.

Namun, konsep polisi virtual yang diterapkan oleh Polri mirip yang diterapkan kepolisian Beijing sejak 14 tahun lalu, yakni ada patroli polisi di ruang digital, dan ada peringatan kepada pengguna melanggar aturan. Perbedaannya, polisi virtual Polri memberikan peringatan kepada pengguna yang melakukan ujaran kebencian, sedangkan polisi virtual di Beijing memberikan peringatan pada pengguna yang mengakses konten ilegal karena China memang melakukan berbagai pembatasan. Selain itu, polisi virtual Polri tidak menggunakan animasi dalam memberikan peringatan seperti yang dilakukan kepolisian di Beijing.

Meski sudah menunjukkan kerjanya dan bukan sesuatu yang baru di dunia, polisi virtual belum lepas dari kontroversinya. Sejak awal diluncurkan, kubu yang tidak sepakat atau menolak polisi virtual menganggap langkah polisi ini mengancam kebebasan berekspresi di media sosial.

Anggapan ini bukan tanpa alasan. Riset yang dilakukan Patton dkk (2017) dan Fallik dkk (2020) menunjukkan ada problem etika ketika kepolisian melakukan pengawasan atau ‘memata-matai’ publik di ruang digital. Selain problem etika, tindakan kepolisian melakukan pengawasan di media sosial berpotensi melanggar hukum karena adanya peluang pelanggaran privasi dan keamanan publik. Namun, problem privasi dan keamanan ini masih belum cukup data untuk membuktikannya.

Bicara soal etika, pemolisian prediktif yang digaungkan oleh Polri era Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga sebenarnya memiliki persoalan ini. Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di Komisi III DPR pada 20 Januari silam, Listyo Sigit mengungkapkan soal konsep Polri Presisi atau prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan.

Satu dari tiga konsep itu merujuk pada pemolisian prediktif, yakni pemolisian yang melibatkan penggunaan big data dan alogoritma untuk mencegah potensi kejahatan. Misalnya, polisi mengolah data di sebuah tempat untuk mengetahui tempat yang memiliki risiko paling tinggi. Polisi mengolah data metode kejahatan untuk mengetahui metode yang paling digunakan. Data semacam ini diharapkan bisa memprediksi tempat, waktu, dan jenis kejahatan yang mungkin terjadi sehingga bisa dicegah lebih dini.

Perhatian soal etika pemolisian prediktif sudah menjadi fokus riset sejumlah ahli lantaran adanya penggunaan teknologi dalam pemolisian. Will Douglas Heaven, editor di MIT Technology Review, dua kali menulis soal pemolisian prediktif dan kedua artikelnya tetap memberikan kritik tajam soal penggunaan algoritma dalam memprediksi kejahatan. Pada tulisan pertama yang diunggah Juli tahun lalu, Heaven menulis bahwa algoritma yang digunakan pemolisian prediktif bersifat rasis sehingga harus dibongkar. Pada tulisan kedua, Heaven menulis "Pemolisian prediktif tetaplah rasis — data apa pun yang digunakannya".

Potensi penggunaan data untuk mengidentifikasi aktivitas kriminal ini juga pernah diungkapkan oleh Patton dkk (2017). Dalam konteks di Amerika Serikat, strategi ini bisa mendorong rasisme karena sebagian besar narapidana adalah kulit berwarna.

Karena itu, para ahli mengingatkan bahwa pemolisian prediktif harus tetap dilakukan dengan pengawasan, akuntabilitas, dan melibatkan analisis manusia. Gstrein dkk (2019) mengatakan pemolisian merupakan inovasi untuk meramalkan atau memprediksikan kemungkinan kejahatan menggunakan data. Namun, penarapannya harus memperhatikan masalah etika yang muncul dari bias-bias yang muncul dari pemilihan tema, tempat, dan waktu, serta transparansi, dan akuntabilitas.

Soal transparansi dan akuntabilitas, agaknya sudah dihitung oleh Polri dengan menyematkan transparansi, dan berkeadilan sebagai dua konsep yang melengkapi prediktif sehingga menjadi presisi. Namun, seberapa transparan dan akuntabel Polri soal polisi virtual? Sejauh ini, polisi hanya mengungkapkan data angka, belum sampai detail siapa yang terjaring patroli polisi virtual.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement