Ahad 14 Mar 2021 10:03 WIB
Cerita di Balik Berita

Gagal Nyendok Opor di Amerika

Usai meliput Sidang DK PBB di AS saat Ramadhan, opor jadi penawar rindu Indonesia.

Opor ayam, menu khas Lebaran.
Foto: Republika/Musiron
Opor ayam, menu khas Lebaran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Sudah lama aku ingin berangkat ke Amerika Serikat (AS). Aku ingin menggenapkan langkah kakiku ke lima benua. Hanya Benua Amerika yang belum aku jejaki.

Kesempatan ke AS datang tahun 2019. Kementrian Luar Negeri mengundang Republika meliput Sidang Dewan Keamanan PBB di New York. Tahun itu Indonesia giliran menjadi Ketua DK PBB selama satu bulan.

Pemberitahuan keberangkat ke New York sangat mendadak. Kami empat wartawan dari Metro TV, Jakarta Post, RRI, dan Republika ketar-ketir saat mengurus visa di Kedubes AS. Visa baru jadi dua hari sebelum keberangkatan.

Saat itu pas bulan Ramadhan. Puasa pertama aku jalani di udara, dalam perjalanan 15 jam ke New York. Tidak terlalu berat menjalaninya, karena aku hanya tiduran di atas pesawat.

Di New York, kota yang dijuluki Big Apple itu, kegiatannya adalah meliput sidang-sidang Dewan Keamanan PBB. Indonesia memanfaatkan posisi ketua DK PBB dengan mengajukan agenda perjuangan Palestina.

Liputan sidang-sidang PBB itu cukup melelahkan. Acaranya padat dari pagi sampai malam. Sidang bisa berjam-jam.

Sering kali kami semua tertidur saat mengikuti sidang DK PBB. Apalagi jika sidangnya siang sampai sore.

Belum lagi acara pertemuan Menlu dengan berbagai perwakilan negara lain. Hampir tak ada waktu untuk istirahat.

photo

Waktu New York berbeda 12 jam dengan Jakarta. Jadinya jam biologis terbalik. Saat waktu tidur di  Jakarta, kami masih sibuk meliput. Sedangkan ketika waktu tidur di New York, kami masih harus menulis berita, karena waktu Jakarta masih siang.

Kami menginap di Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) New York. Jaraknya hanya berberapa blok dari Markas Dewan Keamanan PBB. Cukup berjalan kaki sampai ke sana.

Meliput di negeri orang saat bulan Ramadhan adalah tantangan tersendiri. Yang agak repot adalah mencari makanan, terutama makanan halal. Makanan halal yang paling mudah didapat  adalah food truck. Cuma lokasinya agak jauh dari tempat kami tinggal. Harus berjalan beberapa blok.

Makanan yang dijual di kios gerobak pinggir itu didominasi makan Timur Tengah dan India. Harganya sekitar 8-12 dolar AS (sekitar Rp 112 ribu sampai Rp 168 ribu) satu porsi.

Kadang kami harus menyetok makanan sejak siang untuk berbuka, dan malam untuk sahur. Jika tak sempat mendapatkan makanan, terpaksa sahur dengan mi rebus yang kami masak sendiri di pantry PTRI. Tak selalu mendapatkan nasi. Apa sajalah, yang penting perut terisi dan makanan tidak haram.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement